Lebak, hipotesa.id – Kabupaten Lebak yang terletak dibagian selatan Banten merupakan daerah yang cukup subur untuk lahan bertani. Itu mengapa, Daerah dengan semboyan “Iman, Aman, Uman, Amin ini didalamnya terdapat banyak sekali ragam tanaman yang cukup potensial dan menghasilkan bagi masyarakat yang ada disekelilingnya.
Baru-baru ini, Lebak juga mampu mengeksplorasi biji kopi Arabika dan beberapa jenis Kopi yang lain yang mitosnya sejak lama jenis tanaman ini hanya bisa ditanam diketinggian berkisar 1000 meter diatas permukaan laut.
Egkos, seorang petani kopi yang juga merupakan bagian dari pemuda adat kasepuhan Karang, baru-baru ini mampu memecahkan mitos tersebut, dan ia telah sukses menjadi petani kopi jenis Arabika di Kabupaten Lebak.
Pemuda yang tinggal di desa Jagaraksa, Kecamatan Muncang ini tanpa bosan memberi pemahaman terhadap kawan-kawan seusianya untuk merubah cara pandang, bahwa dengan tetap di Desa dan bertani itu akan lebih menghasilkan jauh lebih besar dibandingkan harus menjadi buruh diperkotaan.
Engkos mengatakan, selain ingin menyelamatkan lahan hutan adat, Ia juga ingin mewujudkan petani mandiri di daerahnya. Usahanya tersebut tentu bukan tanpa tantangan. Menurutnya, masyarakat sekitar lebih memilih melakukan pekerjaan yang instan dan langsung menghasilkan uang, seperti pekerjaan serabutan yang dibayar dengan upah yang cukup untuk kebutuhan keluarga di rumah, buruh perkotaan atau pekerjaan-pekerjaan lain dibandingkan dengan bertani
“Pemuda desa disini memang harus pelan-pelan diubah cara pandangnya agar mau bertani. Karena selama ini mereka menyukai pekerjaan yang instan dan langsung menghasilkan uang”, Kata Engkos saat menceritakan kesuksesannya tersebut dalam bertani.
Bagi Engkos, sudah seharusnya pemuda desa seperti dirinya mampu menciptakan kedaulatan ekonomi di desa dengan mengatur produksinya sendiri dari hulu hingga hilir. Potensi tersebut bagi Engkos sekarang sangat bisa dilakukan di Desanya.
Karena itu, sejak empat tahun terakhir Engkos berusaha mengajak kawan-kawannya serta mengajari para petani untuk memulai menanam kopi dari mulai bercocok tanam secara tumpang sari, mengolah hasil, hingga menjualnya dalam bentuk kemasan.
Pekerjaannya tersebut kini akhirnya membuahkan hasil. Saat ini Engkos telah berhasil menjual kopinya dengan kemasan yang cukup menarik banyak orang. Sementara untuk kemasan ini Engkos menamainya dengan KOBAKI. Produk-produk tersebut telah dipasarkan dibeberapa platform media salah satunya Whatsapp dan Instagram.
Menjadi petani kopi sebenarnya tidaklah mudah. Petani kopi adalah orang-orang yang hidup sederhana, giat berjuang, dan tentunya harus memiliki kesabaran tingkat tinggi. Begitulah yang dapat dilihat dari keseharian Engkos.
Kenapa demikian?. Proses menghasilkan secangkir kopi yang dihidangkan di kedai kopi ternama tidaklah semudah menyampaikan retorika ditempat nongkrong ala pemuda-pemuda kekinian. Ada keringat kesabaran di baliknya. Sebagaimana menanam tanaman lainnya, kopi juga melewati tahapan-tahapan yang panjang dan membutuhkan waktu, tenaga, materi dan kesabaran.
Engkos giat menanamkan bibit kopi di areal Hutan Adat Kasepuhan Karang. Begitulah aktivitasnya setiap kali musim penghujan datang hingga akhirnya beberapa areal perkebunanan penuh dengan tanaman kopi.
Prosesnya tentu tidak sampai disitu. Selanjutnya perlu perawatan dan pembersihan rutin sehingga kopi tersebut dapat tumbuh subur. Bila tidak maka berbagai jenis hama akan mengancam. Merawat kopi memang ibarat merawat bayi. Kopi jenis arabika biasanya berbunga dan berbuah pada usia tiga tahun. Sebuah waktu yang tak singkat.
Kopi membutuhkan waktu setahun untuk menjadi matang dan siap panen sejak berbunga. Saat panen tiba, biasanya Engkos dan rekannya beramai-ramai ke kebun. Yang tentunya sulit untuk diakses kendaraan bermotor karena merupakan areal pengunungan dan perbukitan.
Setelah panen maka proses selanjutnya masuk pada tahapan produksi mulai dari proses menjadi biji hijau. Biji hijau atau yang dikenal dengan green bean ini belum bisa langsung di sangrai karena harus mengalami beberapa tahap lagi. Biji hijau harus melewati bagian resting (diistirahatkan) dengan dijemur terlebih dahulu. Kemudian biji hijau akan di cupping test untuk menentukan kualitasnya. Jika biji hijau tersebut telah mencukupi tingkat kadar airnya dan telah melewati seleksi. Kopi pun sampai ke tangan roaster kemudian di-sangrai (goreng). Sehingga menghasilkan biji-biji kopi yang siap diperdagangkan.
Saat dijual harganya tak sepadan dengan perjuangan dalam proses pengerjaannya. Kopi lokal dari petani hingga sekarang tidak pernah memperoleh harga yang setimpal di pasaran bahkan cendrung menurun dan fluktuatif. Hal ini disebabkan karena minat masyarakat terhadap kopi lokal masih jauh kalah di pasaran dibandingkan dengan kopi-kopi ternama di indonesia. Seperti Aceh Gayo, Bali Kintamani dan lain sebaginnya.
Walaupun demikian satu hal perlu diakui bahwa Engkos tak pernah mengeluh. Menanam, membersihkan, merawat dan menjualnya. Berapapun hasilnya ia tetap bersyukur.
Bagaimana dengan kita saat ini? Masihkah kita sabar dengan setiap keadaan yang kita hadapi? Masihkah kita sabar menghadapi semua ujian yang kita hadapi dalam kehidupan, ataukah kita lari dari persoalan ?
Mungkin kita perlu belajar pada Engkos Sebagai petani kopi. Nikmat secangkir kopi yang dihidangkan di meja kedai ternama dan rumah kita berawal dari poses panjang yang membutuhkan prinsip hidup sederhana dan giat berjuang.
Prinsip hidup itu sangat dibutuhkan dalam mengarungi dinamika kehidupan yang penuh problematika ini. Hanya orang berjiwa besar yang mampu menerapkan sikap sedehana dan giat berjuang di kehidupannya. Hidup tak pernah lepas dari persoalan atau apapun bentuknya. Karena pada hakikatnya kehidupan dunia ini hanyalah tempat ujian, termasuk didalamnya ujian kesabaran.
Ketika cobaan yang tidak menyenangkan itu datang, maka salah satu kunci utama untuk menghadapinya adalah dengan prinsip hidup sederhana dan giat berjuang. Seberat apapun persoalan yag kita hadapi, dengan semangat dan keyakinan percayalah Tuhan tidak pernah memberikan ujian di luar batas kemampuan. **(B_S)