Pandeglang, hipotesa.id – Pandemi Covid-19 mau tidak mau menuntut banyak orang untuk beradaptasi dengan aktifitas-aktifitas baru yang membutuhkan sedikit keahlian untuk tetap produktif. Memang, sementara ini untuk sebagian orang yang adaptif, kadangkala pandemi menguntungkan mereka khususnya yang menggeluti dunia bisnis dalam skala kecil maupun besar yang dibantu oleh jejaring internet.
Alih-alih pandemi membuat sumber pemasukan rumah tangga menurun drastis, justru bagi orang-orang yang adaptif dan kreatif adanya pandemi tidak menutup akses mereka untuk mencari tambahan lain yang sulit diperoleh diluar.
Cerita pendemi ternyata tidak selesai sampai disitu. Ada cerita lain yang sedikit menggugah kita datang dari keluarga Hayatun Nufus yang berinisiatif membangun Taman Pendidikan Qur’an (TPQ) bagi anak-anak usia dini di kampung halamannya, Panjulan, Desa Paniis, Kecamatan Keroncong, Kabupaten Pandeglang, di masa pandemi ini.
Inisiatif itu bermula dari keresahan Nufus terharap anak-anak usia dini atas kecenderungan mereka terhadap gedget disetiap saatnya. Pandemi yang mengharuskan aktifitas manusia tetap di rumah, kadangkala memberatkan ibu-ibu rumah tangga yang memiliki anak dibawah umur lebih dari satu. Sehingga ditengah kerepotan mengurus rumah, anak-anak mereka akan disodorkan gedget agar tidak mengganggu pekerjaan yang sedang dilakukan.
Kebiasaan demikian akhirnya menjadi candu tersendiri bagi anak untuk selalu bermain gedget tanpa adanya batasan waktu. Dengan demikian si anak akan kehilangan waktunya untuk bermain dengan kawan satu usia dengannya. Si anak akan lebih senang mengurung diri di kamar, asik bermain dengan gedget yang diberikan orang tuanya.
Keadaan demikian sangat mengkhawatirkan bagi Nufus. Karena menurutnya, jika anak usia dini memiliki sebuah kecenderungan yang buruk, anak dengan sendirinya akan melakukan hal yang sama berulang-ulang.
Setelah melakukan evaluasi bersama beberapa perempuan di keluarganya, juga atas ilmu agama yang diperoleh dari pesantren di masa lalu, serta cara mereka mengimplementasikan ilmu tersebut selama ini, akhirnya mereka memutuskan membuat TPQ yang bernama Mabda’il Falah.
“Kebetulan ada Istri paman yang lulusan pondok Pesantren. Kita sharing dan evaluasi hasil kami belajar di masa lalu sudah bermanfaat apa belum. Setelah itu akhirnya kita sepakat dan menghasilkan ide untuk mendirikan pendidikan informal bagi anak”, Kata Nufus bercerita.
Pendidikan informal terutama dibidang keagamaan seperti sekolah sore dan mengaji Al-Qur’an, memang sudah sedikit berkurang di tengah-tengah masyarakat, seiring berkembangnya teknologi informasi. Ditambah dengan pandemi yang membatasi anak usia dini untuk bermain diluar rumah.
Bagi Nufus dan keluarga, kecenderungan untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan moral dikemudian hari, adalah karena kurangnya pengajaran agama diusia dini. Wajar jika Nufus memiliki kekhawatiran demikian. Faktanya, perkembangan teknologi informasi punya andil besar dalam merusak moralitas seseorang. Disinilah bagi Nufus dirinya dan keluarga harus melakukan pengajaran yang baik bagi anak-anak.
Alih-alih untuk mengisi waktu senggang dengan semangat dan niat baik ingin memanfaatkan ilmu yang diperoleh, sekarang Nufus benar-benar harus menghabiskan aktifitasnya mengajar, karena partisipasi peserta didik yang terus meningkat signifikan. Hanya dalam waktu 5-6 bulan, muridnya kini sudah mencapai 43 orang.
Proses belajar mengajar yang diberikan dalam TPQ ini, selain memberi pengajaran mengenai membaca Al-Qur’an, peserta didik juga akan diajari tata cara berwudhu, diajari tata cara sholat, doa sehari-hari hingga sholawatan. Untuk pengajaran Al-qur’an sendiri, biasanya akan disesuaikan dengan tingkat umur anak. Yang pertama kali masuk dan mengaji, murid akan diajari Iqra. Sementara yang telah lama dan memiliki kecakapan lebih, diharuskan menghafal djuz 30.
Gagasan Nufus atas inisiasinya mendirikan TPQ disambut baik oleh warga sekitar. Apalagi dirinya juga memfasilitasi ibu-ibu di lingkungannya untuk rutin mengadakan pengajian di setiap minggunya. Neng Daman, salah satu tetangga Nufus yang merupakan guru di salah satu Sekolah Dasar, sejak awal memberikan apresiasinya untuk gagasan tersebut.
“Tentu kami support dan mendukung penuh. Saya secara pribadi pun mengalami keresahan yang sama dengan Nufus. Sebagai ibu rumah tangga yang memiliki banyak anak, kadangkala anak saya juga mainannya Handphone terus”, kata Neng Daman.
Nufus berkesimpulan bahwa anak usia dini baginya cukup mudah untuk diarahkan kepada hal-hal yang baik dan positif. Untuk itu, Ia juga menginginkan agar pengajaran baik terhadap anak tidak terjadi di pendidikan-pendidikan informal semacam TPQ dan lain-lainnya saja. Yang lebih penting dari itu baginya adalah peran orang tua untuk terus mengontrol perkembangan anak hingga usianya menginjak dewasa.
Pengajaran informal semacam ini bagi Nufus sangatlah penting dan tidak cukup hanya dilakukan di lingkungannya semata. Pertimbangan Nufus sederhana. Ditengah akses informasi yang semakin lues, bisa jadi jika di lingkungannya anak-anak usia dini mampu mengimbangi gedget dengan aktifitas-aktifitasnya yang baik, sementara lingkungan yang lain tidak.
Untuk alasan-alasan tersebut, dirinya berharap pemerintah juga memiliki andil besar untuk membumikan gagasan yang dulu sempat ramai semasa Ia kecil dulu.
Reporter: Rosinta Bela
Penulis: Rosinta Bela
Editor: Samsul Ma’arif