Cillegon, hipotesa.id – Program pengurangan sampah di Kota Cilegon nampaknya masih memiliki pekerjaan rumah. Hal ini terlihat dari volume persampahan di TPSA bagendung yang masih tinggi, 600-700 kubik per hari.
Pemerintah Kota Cilegon melalui Dinas Lingkungan Hidup membuat program pengurangan sampah melalui Bank Sampah berbasis komunitas. Program ini bertujuan untuk pengurangan sampah dari sumbernya.
Namun, dalam perjalanannya terdapat beberapa kendala yang dimiliki penggiat Bank Sampah ditingkatan komunitas.
Menurut Nur Cholis yang merupakan ketua Sanggar Wuni Kreasi menilai, beberapa faktor penyebab Bank Sampah belum berjalan masif lantaran kelelahan pengurusnya.
Menurutnya, pengurus di Bank Sampah yang ada di setiap RT/RW mengalami fluktuatif semangat dalam menjalani program, lantaran program tersebut masih bersifat sosial. Meski Bank Sampah menjadi circle ekonomi dalam mazhab persampahan, namun keuntungan yang didapat masih belum menutupi operasional.
“Pengurusnya kelelahan, karena bank sampah di komunitas ini masih dikelola secara sosial,” tuturnya.
Hal lain, pria yang menjadi penggiat Ekonomi Kreatif ini memaparkan, komunitas Bank Sampah tingkatan RT/RW belum terintegrasi dengan program Kelurahan setempat. Sehingga, masalah persampahan masih belum terselesaikan dari akar rumput.
Ia berharap, kelurahan aktif menggaet komunitas Bank Sampah untuk memikirkan bersama pengurangan sampah di tingkatan akar.
“Pihak Kelurahan harusnya menjadi leading sektor kebijakan turun langsung di masyarakat. Kebijakan yang menurun kepada RT/RW bisa dijadikan landasan agar program pengurangan sampah dari rumah dapat berjalan dengan baik” ucapnya.
Ia mencontohkan, bagaimana Desa Panggung Harjo di Sewon Bantul Yogyakarta, dapat mengolah sampah dari tingkatan RT/RW kemudian dikelola skala Desa dengan circle ekonomi yang besar.
Desa ini tak memiliki potensi wisata, seperti desa-desa yang lain di Yogjakarta. Tapi mampu memanfaatkan masalah sampah jadi peluang pekerjaan bagi warganya.
“Pendapatannya ada retribusi dari warga, kemudian, sampah non organik, sampah organik yang dijadikan kompos hingga minyak jelantah” jelasnya.
Menurutnya, kebijakan berada di tingkatan bawah dapat membantu pengurangan sampah di tingkat kampung namun dengan skema yang jelas.
Selain di Panggungharjo, ia juga mencontohkan bagaimana kolaborasi Yayasan Pengelolaan Biosains dan Bioteknologi (YPBB) di Kota Bandung dengan DLH mengedukasi warga dari rumah ke rumah dor to dor untuk pemilahan sampah organis.
“Di Kota Cilegon sudah ada Forum Bank Sampah, tinggal Dinas LH, menguatkan skema edukasi ke warga atau Bank Sampah di tingkatan komunitas untuk dor to dor edukasi dan harus continue tentang pemilahan dari rumah. Edukasi secara langsung akan lebih efektif dibanding acara seremonial tentang persampahan” paparnya.
Ia berharap, Dinas LH menguatkan edukasi ini dengan membentuk tim riset dan edukasi. Memetakan kelurahan mana yang sudah ada Bank Sampahnya dan mana yang belum. Tim riset dan edukasi ini yang bisa menguatkan penyadaran di masyarakat melalui peta dan penguatan di Bank Sampah.
Penguatan sistem di bank sampah harus memiliki grand plan yang jelas. Oleh karena itu seharus nya Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dapat membentuk tim riset dan edukasi.
Disisi lain, program persampahan juga harus sudah mulai merambah digital conten dan media sosial dalam rangka mempromosikan pengurangan sampah.
“Target nya anak-anak muda melalui conten-conten kreatif. Jadi tidak hanya sosialisasi di tingkat kelurahan yang setiap tahunnya peserta nya itu-itu saja tidak ada peningkatan,” pungkasnya. (Maul)