Jam’an, pria berumur 41 Tahun itu bercerita tentang kerasnya belantara kehidupan, meskipun hari-harinya di sibukan dengan memulung. Saat kami temui, ia terus menebar senyum sepanjang obrolan malam itu. Sambil menjejaki kedalaman isi hatinya dari setiap kata yang ia ucapkan kami ragu Minah betul-betul sedang menikmati kehidupannya yang nestapa.
Meski hari-harinya dikelumuti senyuman palsu, Ayah dengan 3 (tiga) anak dan merupakan warga Cilegon ini tidak pernah mengeluh atas hidup yang sedang dijalaninya. Ia selalu menjalankan pekerjaan memulung dengan sungguh-sungguh meskipun kebanyakan orang memandang pekerjaan itu sangat rendah. Untuknya, apapun pekerjaan harus dijalankan sebaik mungkin. Ia sadar, bahwa tidak banyak orang yang siap mental untuk profesi seperti ini. Ia pun berharap nasib baik selalu menyertai dirinya juga orang-orang senasib.
Setibanya matahari terbit, tepatnya pukul 07.00 WIB, ia biasanya memulai untuk melawan kerasnya kehidupan Kota demi keberlangsungan kehidupan hingga menjelang malam.
Sebelum itu, ia selalu terbangun dari tidurnya, memulai aktivitas dengan mandi dan menjalankan ibadah sholat subuh. Sarapan pagi pun terkadang hanya menjadi hiasan imajinasi sebelum ia menunaikan pekerjaan mulia untuk membersihkan kota. Ia memulung menggunakan gerobak. Kendaraan yang usang itu telah menjadi teman setianya selama 5 tahun terakhir.
Gerobak itu ia gunakan untuk menampung seluruh jenis sampah yang nantinya akan ditukarkan menjadi uang. Jam’an mulai memulung dari tempat ia berlindung tepatnya di kampung Kebon Dalem Dan menyusuri ruas Jalan Maulana Yusuf Purwakarta, Cilegon
“Ya, walaupun saya setiap hari lewat jalan yang sama. Tapi sampah selalu ada, sampah rumahan maupun yang ada di jalan perkotaan” ucap Jam’an sembari duduk merenung memeluk kedua lutut.
Kehidupan yang di jalani Jam’an tidaklah mudah. Tujuan untuk memperoleh pekerjaan yang layak menjadi sirna ketika ia menyadari bahwa ia sadar dirnya tak punya keterampilan. Jam’an yang hanya merupakan lulusan Sekolah Dasar ini juga tidak memiliki modal apapun untuk membuka usaha.
Dari sampah, Jam’an hanya mampu meraup uang sekitar Rp 800.000 perbulan, penghasilan yang sangat tidak layak bagi penghidupan keluarga ditengah mahalnya ongkos kehidupan kota yang serba tidak terkendali. Belum lagi ia juga harus membiayai anak-anaknya untuk sekolah dan lain-lain.
Meski demikian, segala keringat yang membasahi sekujur tubuhnya tak pernah menghentikan langkah Jam’an untuk terus mengais rezeki.
“Duka pasti ada, cuaca kadang menjadi kendala. Panas atau hujan, untuk makan saya harus tetap bekerja”
Kami mencoba membuat lawakan ringan ditengah pembicaraan suka duka kehidupan. Ia pun tertawa terbahak-bahak. padahal sangatlah nihil cerita suka menjadi pemulung sampah. Jam’an menjelaskan, bekerja sebagai pemulung sampah adalah pekerjaan yang menderita. Tapi ia akan terus menysukuri rezeki yang diberikan Tuhan melalui usaha dan kerja keras. Setidaknya pekerjaan memulung sampah sedikit berguna untuk kota.
Kesulitan yang dialami oleh Jam’an bukanlah alasan untuk tidak bersyukur kepada Tuhan. Ia percaya bahwa roda kehidupan selalu berputar. Kelak suatu saat nanti kebahagiaan akan datang. Ia yakin pasti merasakan bahagia di masa tua, dengan keberhasilan anak-anaknya. Ia akan selalu berusaha keras untuk anaknya bisa terus bersekolah setinggi-tingginya, dan semoga nasib baik selalu menyertainya. Yang terpenting dalam hidup, kita selalu mensyukuri apa yang sudah Tuhan berikan kepada kita. Dengan bersyukur dan berusaha, tuhan akan selalu ada dalam segala keterbatasan.
Reporter : Rosinta Bela
Penulis : Rosinta Bela
Editor : Samsul Ma’arif