Apa kabar kualitas pendidikan di Banten? Kemana arah pendidikan dalam balutan janji politik saat ini? Tragis. Pendidikan dijalankan bukan karena amanat konstitusi tetapi berbasis pencitraan, maka pilihannnya adalah “kalkulasi” gratis untuk masyarakat. Kata gratis menjadi “hipnotis” sekaligus mantra “bim salabim” bagi pihak sekolah untuk terus dapat berakrobat dengan kehidupannya.
Bim salabim, jadi apa, prok prok, ayo bantu, jadi apa: pendidikan gratis.
Pendidikan gratis telah menyulap adanya fakta kesulitan biaya operasional SMAN dan SMKN. Tahun 2017, pendidikan gratis yang mengalokasikan Rp 500.000,-/persiswa, tidak terlaksana karena menjadi SILPA. Tahun 2018 kembali dianggarkan Rp 1.000.000,-/persiswa namun kembali menjadi SILPA.
Sejak 2019 pendidikan gratis adalah pengalokasian anggaran dana BOSDA untuk pembayaran gaji guru dan tenaga tata usaha honorer, lengkap dengan tunjangannya, seperti tunjangan wali kelas, Pembina eskul dan lain sebagainya. Setelah Pergub No. 31 Tahun 2018 diganti dengan Pergub No.52 Tahun 2020, pembiayaan pendidikan gratis adalah pengalokasian pembiayaan (1) Belanja Pegawai; (2) Belanja Barang/Jasa; dan; (3) Belanja Modal. Tahun Anggaran 2021, hanya mengalokasikan Belanja Pegawai.
Menjadi tidak wajar, dalam perjalanan dua tahun terakhir pendidikan gratis ini, sekolah hanya mengandalkan BOSNAS. Kepala Sekolah mesti pandai melakukan trik-trik tersendiri ditengah “heroisme pendidikan gratis”, agar bisa membayar tagihan PLN, tagihan internet setiap bulannya dan keperluan tak terduga lainnya. Celakanya, Dana BOSNAS 2021, Tahap I sampai saat ini belum Cair, diperkirakan cair pada bulan Maret.
Artinya, selama 2–3 bulan kedepan sekolah mesti berakrobat untuk menutupi operasional mereka karena meminta partisipasi kepada masyarakat tidak diperbolehkan, bisa jadi “akrobat” yang ditempuh bekerjasama dengan para pengijin proyek barang/jasa di masing-masing sekolah atau dibiarkan saja menunggak atau pinjam uang.
Oh iya, jangan salah ya, beberapa sekolah besar, seperti SMAN/SMKN 1 atau SMAN/SMKN 2 di delapan Kab/Kota Provinsi Banten, tagihan PLN dan internetnya bisa mencapai puluhan juta rupiah. Sebenarnya pada Tahun 2019, biaya tagihan PLN dan internet sudah dianggarakan dalam BOSDA, bahkan saat itu “katanya” sudah ada MOU dengan pihak PLN dan TELKOM dimana pembayarannya langsung dari dana BOSDA melalui bendahara Pemprov Banten, akan tetapi kemudian di Tahun 2020, semua berubah karena dana Bosda hanya dialokasikan untuk gaji guru dan tu non PNS saja.
Menjadi wajar ketika muncul anggapan bahwa pendidikan gratis mengorbankan para Kepala Sekolah. Padahal jika dicermati, sebelum adanya janji politik pendidikan gratis ketika SMAN, SMKN dan SKN melakukan pungutan SPP setiap bulan, dialokasikan untuk pembayaran honorer guru dan TU non PNS, membayar tagihan PLN, dan DSP untuk siswa kelas X, biasanya digunakan untuk rehab Berat dan pembelian barang modal.
Masih ingat ditahun 2018?, Ketika Kepala Sekolah SMKN 4 Kota Tangerang ditengah sulitnya berakrobat, meminta partisipasi kepada orang tua murid dan kemudian katanya di pecat?
Penulis: Iksan Ahmad