Oleh: Ahmad Syafaat
Berjejak. Kini usianya tak muda lagi, seyogyanya tidak mengurangi semangat juang. Harus semakin dewasa berpijak pada garisnya. Memperkokoh jati diri bangsa, meneguhkan peran dan fungsi Mathla’ul Anwar 105 tahun mengukir peradaban.
Jika melihat kebelakang tentunya Mathla’ul Anwar telah banyak mengukir sejarah di bangsa ini dengan perjuangan yang tak mengenal kata “lelah”. Sangat layak di sematkan pahlawan nasional bagi para pendiri Mathla’ul Anwar.
Demi Ummat dan Demi Bangsa, The Founding Fathers ikut berjuang mempertahankan NKRI. Para pelopor Mathla’ul Anwar dengan jiwa revolusioner dan progresifnya menghimpun generasi muda islam untuk ikut berjuang melawan penjajah dan mempertahankan kemerdekaan.
Jika merujuk pendapat Prof. Azyumardi Azra menyebutkan, dalam membangun sebuah peradaban tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan intelektualitas dan profesionalitas, tetapi harus diletakkan di atas landasan tumpu nilai-nilai agung kemanusiaan-keagamaan, seperti moral, spiritual dan budaya. (Agus Salim Sitompul, 2002: XX).
Secara historis, kita mesti melihat konteks sosial budaya pada tahun awal abad 20, tahun 1900-an. Bukan hanya Indonesia, tapi dunia Islam, seluruh dunia dalam penjajahan. Pikiran para pelopor Mahla’ul Anwar seperti KH Entol Muhammad Yasin, KH Tb Muhammad Soleh, dan KH Mas Abdurrahman pada waktu itu bukan hanya Islam di Indonesia tapi dunia. Sementara ia berada dalam situasi kultural Kerajaan Islam.
Aspek lain, kalau kita membaca pemikiran KH Mas Abdurahman mendunia, karena ia menimba ilmu pulang dari Mekkah, tempat pertemuan bangsa-bangsa Muslim dari seluruh dunia. Pada saat yang sama sedang terjadi kebangkitan Islam. Dunia Islam sedang bergerak walaupun berada pada cengkeraman kolonialisme.
Pada aspek satunya lagi, ketika orang membaca ajaran-ajaran Islam, betapa indahnya, mengakui pluralisme dan universalime, bersikap terbuka, akomodatif, tetapi juga selektif serta peduli sesama. Semua itu mengangkat derajat manusia demi tercapainya nilai-nilai humanistik. Memang kita harus melihatnya multiaspek dan memberi makna bagaimana kelahiran Mathla’ul Anwar.
Di sisi lain soal bagaimana kondisi sosial masyarakat Islam pada waktu itu. Justru yang terjadi sebaliknya: saling tidak peduli, keterbelakangan, berada dalam puncak ketidakberdayaan, kemudian menikmati “penderitaannya”.
Mungkin, kalau sekarang agak sulit bagi anak muda melihat masyarakat Islam pada saat itu. Lari ke kuburan, lari ke pohon besar, benda-benda mistik yang memiliki kekuatan-kekuatan magis yang dianggap bisa mengubah, menciptakan kehidupan sehat, sejahtera. Tapi justru hal itu lari dari keadaan sebenarnya.
Disadari atau tidak, fase kesadaran umat Islam Indonesia, mulai dari fase mitos, ideologi hingga fase ilmu, tampak nyata dan berjalan hingga saat ini.
Di saat yang yang bersamaan, kondisi sosial pada waktu itu disatu sisi, berada di pusat kekuasaan Islam, disisi lain berada dalam kekuasaan penjajahan. Didepan mata tidaklah aneh dalam prakteknya banyak menemukan akulturasi budaya yang mempengaruhi karakter dan cara pandangnya.
Penuh kesahajaan dan bijaknya para Kiai Mathla’ul Anwar bersikap terbuka, mengembangkan dakwah kultural mengubah kondisi tradisi tidak langsung face a face tapi lewat penyadaran, lewat pendidikan; Mathla’ul Anwar tidak kemudian bertabrakan dengan tradisi. Maka itu dapat diterima oleh semua kalangan masyarakat.
Sejatinya, Mathla’ul Anwar melakukan gerakan kebudayaan itu penyadaran. Tidak struktural, dan akomodatif terhadap kearifan lokal yang berkembang di tengah masyarakat.
Terbukti, dalam melakukan dakwah kepada masyarakat dengan santun dan mengikuti tradisi yang ada, contohnya KH Mas Abdurahman mengarang Kitab atau karyanya dengan bahasa yang dimengerti dan dipahami oleh masyarakat. Misalnya Kitab Al-Jawaiz fii Ahkam Al-Janaiz, ditulis dalam huruf jawi berbahasa Sunda. Ada lagi kitab Manẓūmāt yang naskah kitab ini unik dan satu-satunya kitab yang ditulis dalam bentuk naẓam (syair) dan disiapkan untuk segmen pembaca dalam tiga bahasa Arab, Indonesia, dan Sunda sekaligus yang disusun secara bergantian.
Naskah ini ditulis tidak sekedar untuk bimbingan keilmuan dan keagamaan, tetapi juga disusun sebagai media bagi pembangunan sebuah Masjid.
Pada cover kitab ini tertulis siapa yang membeli kitab Manẓūmāt ini berarti mempunyai darma, karena sebagian harganya akan diwakafkan untuk pendirian Masjid kampung Soreang Menes tahun 1345 H/ 1926 M silam. Dari sinilah penulis berpendapat bahwa KH Mas Abdurahman memberikan pelita kepada umat melalui gerakan kebudayaan, kesadaran masyarakat yang tercerahkan salah satunya lewat jalur pendidikan.
Kekuatan Mathla’ul Anwar
Diusia 105 tahun, Mathla’ul Anwar telah banyak mengukir bintang di langit, mengakar dibumi, berselancar dilautan luas. Gelombang pasang surut eksistensi Mathla’ul Anwar dikelola dengan baik. Sebagai organisasi masyarakat yang lahir di perkampungan, menancap ruh gerakan sosial menjadi kekuatan diakar rumput dalam membaca semangat zaman.
Dalam Khittah Mathla’ul Anwar QS : Al-mujadalah : 11, QS. Ali Imran: 104, 103, QS : An-Nisa : 59 yang mendasari dan menginspirasi para kiyai membuat gerakan Mathla’ul Anwar. Maka dari itu bagi penulis antara gerakan dengan keyakinan tak dapat dipisahkan dan harus berjalan beriringan. Karena keyakinanlah yang menjadi ruh dari sebuah gerakan. Keyakinan yang membedakan amalan yang dilakukan umat Islam dengan amal saleh yang dilakukan kaum ateis misalnya. Umat Islam melakukan amal saleh mempunyai keyakinan dan harapan mendapatkan Ridha Allah SWT.
Kesalehan sosial ini yang tertanam dalam diri dan terus digaungkan para pendiri Mathla’ul Anwar sampai sekarang.
Wajah zaman yang terus berubah menjadi tak terbantahkan, arus perubahan terjadi begitu cepat, hampir di semua sektor kehidupan berubah sangat drastis, polarisasi kehidupan mengalami pergeseran yang cukup signifikan, semua tidak seperti dulu lagi.
Saat ini manusia dan teknologi begitu akrab dan romantis, kebutuhan dasar manusia kini sangat bergantung dengan hadirnya teknologi, khususnya teknologi informasi, seperti yang kita ketahui bersama bahwa peradaban manusia tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi.
Perubahan ini tentunya menjadi tantangan Mathla’ul Anwar, agar ikut terlibat dan berperan menjemput generasi emas yang adaptif dan inovatif salah satunya dalam menghadapi bonus demografi yang saat ini telah terjadi. Bonus demografi sendiri, merupakan sebuah keuntungan yang dapat diraih dengan memenuhi syarat-syarat tertentu.
Sehingga bonus demografi tidak semata-mata mutlak membawa keuntungan dan dampak positif melainkan perlu diusahakan dan diarahkan dengan benar. Syarat yang harus dipenuhi untuk meraih bonus demografi tersebut salah satunya adalah tingkat kesehatan serta pendidikan yang memadai untuk membentuk sumber daya manusia yang berkualitas.
Pendidikan dan Sumber daya manusia yang unggul dan berkualitas (Kader militan) serta manajemen organisasi yang terstruktur dan terorganisir merupakan kekuatan besar Mathla’ul Anwar untuk terus memperkuat identitas Islam dan sekaligus membangun bangsa yang berkelanjutan dalam mewujudkan negri yang Baldatun Thoyyibatun Warobbun Ghofur, Aamiin.
Mathla’ul Anwar dan Kepemimpinan
Jika tidak berlebihan, penulis berpendapat orang yang memimpin dan berpengaruh di Republik ini adalah orang Mathla’ul Anwar. Kenapa demikian? Ormas islam yang lahir 29 tahun Pra kemerdekaan ini tentunya banyak melahirkan pemimpin bangsa.
Para pejuang Mathla’ul Anwar berkeliliing daerah bahkan dunia dalam melakukan syiar dakwah. Terbukti, madrasah Mathla’ul Anwar ada diseluruh Indonesia bahkan dunia. Ini artinya menandakan dan menguatkan banyak sekali kader-kader Mathla’ul Anwar yang memimpin.
Dalam hal kepemimpinan, Mathla’ul Anwar memiliki gaya kepemimpinan yang khas dikenal dengan istilah “Kepemimpinan Kolektif Kolegial dan Kepemimpinan Partisipatif”. Tidak diragukan lagi kiprahnya terus berjalan dalam mengawal sejarah bangsa ini, salah satunya dikancah perpolitikan. Di sisi lain kepemimpinan dan politik sangat erat kaitannya.
Kembali ke Khittah, Mathla’ul Anwar sebagai (Organisasi agama dan kemasyarakatan), bukan organisasi politik. Diksi bukan sebagai organisasi politik ini ditegaskan oleh para pimpinan Mathla’ul Anwar dengan maksud dalam politik praktis, tetap memperhatikan dan bertanggung jawab politik, yaitu politik kebangsaan.
Politik kebangsaan MA pengejewantahan tanggung jawab Mathla’ul Anwar kepada bangsa dan negara untuk tetap mengawal perjalanan politik Indonesia agar tetap dalam rel kebangsaan yang telah disepakati bersama oleh para pendiri bangsa dengan ciri utama tetap mengutamakan keluhuran akhlak agar tercapainya kedamaian dan kesejahteraan rakyat. Umat Islam saat ini harus meninggalkan pemahaman politik sebagai upaya perebutan kekuasaan (power politics), tema pokok politik kita berubah.
Tema pokok politik kita saat ini ialah soal political economy dengan fokus masalah kesejahteraan. Isu substantifnya adalah jaminan kesejahteraan (social security), dan negara kesejahteraan (welfare state), sebab Indonesia sudah berada di era post-industrial-society.
Satu gagasan yang pernah dilontarkan oleh Mathla’ul Anwar dalam forum koordinator Amal Muslimin, Mathla’ul Anwar bersama HSBI (Himpunan Seni Budaya Islam) yang mendapat perhatian dan diterima oleh salah satu sidangnya, ialah agar Koordinator Amal Muslimin menyusun konsep-konsep ekonomi, sosial, keuangan dan berbagai macam hal yang diperlukan untuk kemakmuran dan kesejahteraan umat sesuai ajaran Islam. Konsep-konsep ini kelak agar disodorkan dan diusahakan untuk dilaksanakan oleh pemerintah bersama umat.
Ketika itu, contohnya pada tahun 1963 KH Uwes Abu Bakar selaku ketua umum Pengurus Besar Mathla’ul Anwar melaksanakan ibadah haji ke Mekah. Setelah sampai beliau di tanah suci mendapat undangan resmi Rabithah Alam Islami yang memang setiap tahun mengadakan kongresnya di Mekkah. Ketua Umum PB Mathla’ul Anwar diundang untuk mewakili umat Islam Indonesia.
Ketua Umum PB MA sempat pula membentuk Perwakilan Mathla’ul Anwar untuk Saudi Arabia yang berkedudukan di Mekkah. dan pada waktu itu Jeddah ada sebuah Madrasah lil banaat. Mereka ingin bergabung dengan Mathla’ul Anwar, dan kemudian mengubah namanya menjadi Madrasah Mathla’ul Anwar. Satu hal yang luar biasa, beberapa waktu setelah penggabungan dengan nama Mathla’ul Anwar, muridnya melonjak pesat sampai tiga ratus orang lebih.
Dari dulu sampai sekarang, keterlibatan aktif Mathla’ul Anwar dalam membangun umat selalu menjadi pelopor garda terdepan untuk kemajuan.
Jika kita lihat secara universal Mathla’ul Anwar dulu, kini, dan nanti apakah mengalami perubahan? ataukah mengalami kemunduran? marilah kita lihat secara seksama dan objektif, dalam meningkatkan sense of belonging (Rasa memiliki) terhadap organisasi, apa yang bisa kita lakukan, mari lakukan dan berbuat.
Jangan berfikir apa yang bisa kita dapatkan dari organisasi? Tapi mari kita berfikir bersama apa yang sudah kita berikan untuk organisasi tercinta ini? sejatinya, pertanyaan ini menjadi hal dasar para kader Mathla’ul Anwar sebagai perwujudan etos pengabdian.
Penulis berpandangan banyak sekali kader-kader terbaik Mathla’ul Anwar yang berprestasi dan terdistribusi dalam segala sektor baik sebagai birokrasi, akademisi, politisi, pengusaha, dan lain sebagainya.
Namun, penulis melihat mereka kurang “percaya diri” untuk muncul di permukaan sebagai kader Mathla’ul Anwar. Kenapa demikian? padahal apabila hal itu dirawat dan dimanajerial dengan baik supaya ada terkoneksi antara para kader.
Jika meminjam istilah yang terkenal harus ada semacam gerakan MA-Connection Memimpin sebagai upaya penyadaran bersatu menggalang kekuatan yang terorganisir.
Diakhir, segala kerendahan hati dan kefakiran ilmu penulis menyampaikan dari muktamar ke muktamar, Mathla’ul Anwar telah memberikan kontribusi besar dalam kemajuan bangsa khususnya Indonesia umumnya dunia.
Mathla’ul Anwar mengajarkan pada kita bagaimana cara menyiapkan generasi penerus dalam memimpin lewat tarbiyahnya.
Mathla’ul Anwar mengajarkan pada kita bahwa keimanan Islam membingkai kehidupan yang penuh kedamaian dan ahklak mulia.
Mathla’ul Anwar mengajarkan pada kita begitu indahnya asas musyawarah mufakat yang menghasilkan keteduhan dan kebersamaan yang sejalan dengan dasar negara kita Indonesia sila ke-4 Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Mathla’ul Anwar mengajarkan bahwa asas Musyawarah Mufakat adalah produk bangsa sendiri yakni Pancasila sebagai dasar pemersatu bangsa, meneguhkan kesatuan dan persatuan.
Mathla’ul Anwar tetap mengukir peradaban 105 Tahun ; menyambut generasi emas, semoga lahirlah kader-kader ideologis yang memimpin umat, bangsa dan negara.
Wallahu A‘lam Bi As-Shawab
Ahmad Syafaat
Ketua DPW HIMMA Provinsi Banten.