Oleh: Rosinta Bela
hipotesa.id – Sebagian besar dari Kita tentu sudah akrab dengan istilah International Women’s Day. International Women’s Day adalah hari di mana perempuan diakui atas prestasi mereka tanpa memandang adanya konflik, baik secara etnis, budaya, ekonomi maupun politik, sekaligus melihat lebih dalam berbagai permasalahan yang masih dihadapi perempuan.
Dikutip dari Feminism and Antiracism: International Struggles for Justice 8 maret ditetapkan jadi Hari Perempuan Internasional sejak 1975 oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dengan melalui banyak proses yang panjang bahkan hingga seratus tahun lamanya. Pada 1857 terjadi aksi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh buruh garmen perempuan di New York, upah murah dan tindakan semena-mena menjadi alasan aksi demonstrasi, namun tidak ada hasil yang begitu signifikan.
50 tahun kemudian pada 1907 terjadi aksi demonstrasi yang diikuti lebih dari 15 ribu buruh tekstil perempuan. Kali ini mereka menuntuk hak berpendapat dan hak berpolitik. Theresa Malkiel, sorang buruh perempuan New York menjadi pelopor gerakan ini. Kemudian gerakan yang terjadi memicu lahirnya gerakan-gerakan baru khususnya beberapa negara di Eropa, mereka menentang banyak ketimpangan terutama hak-hak perempuan yang telah dirampas.
Gerakan ini dipelopori oleh perempuan bernama Clara zetkin, Kate Duncker, Paula Tiede , yang tergabung dalam Konferensi Perempuan Sosialis Internasional 1910. Pada konferensi ini dinyatakan bahwa IWD akan diperingati setiap tahun. Peringatan IWD pertama dilakukan oleh Partai Sosialis Amerika Serikat pada 28 februari 1909 sebagai bentuk penghargaan pada Aksi demonstrasi yang dilakukan Aliansi ini setahun sebelumnya.
Sebelum di sahkannya IWD oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), negara-negara di Eropa seperti Swiss, Jerman, Austria dan Denmark merayakannya pada 19 maret sebagai hasil dari Konferensi Perempuan pada 1910 di Kopenhagen. Kemudian terjadi revolusi perempuan besar-besaran di Rusia pada 8 Maret saat terjadi Perang Dunia 1, menghasilkan keputusan bahwa Tsar Rusia memberikan hak memilih dan hak berpolitik pada Perempuan.
Jika dulu hari tersebut menjadi masa untuk mengenang keberanian perempuan dalam mengambil langkah dan membuat perubahan, kini International Women’s Day juga menjadi momen yang tepat untuk melakukan refleksi diri terhadap apa saja yang sudah kita dapat dalam mencapai kesetaraan.
Maka Hari Perempuan Internasional diresmikan menjadi perayaan tahunan untuk memperjuangkan Hak Perempuan dan Perdamaian Dunia. Internasional Women’s Day dijadikan sebagai simbol perlawanan sekaligus bentuk penghargaan kepada mereka perempuan yang berani melakukan perubahan, tidak hanya di negara-negara pencetus saja melainkan seluruh dunia memperingati hari ini yang tentunya masing-masing negara memiliki pahlawan perempuan dalam memajukan peradaban perempuan itu sendiri.
Pentingnya memperingati International Women’s Day
Berbagai perayaan dilakukan oleh beberapa kalangan, baik dari kalangan pelajar, mahasiswa, rakyat miskin kota, dan lain-lain. Bentuknya pun beragam seperti mimbar bebas, aksi demonstrasi dengan berorasi politik, bernyanyi, menari, diskusi kecil hingga dialog publik sering dilakukan. Entah berbicara sejarah, ataupun berbicara bagaimana situasi perempuan hari ini dan pergerakannya.
Di Indonesia perempuan mengalami berbagai penindasan yang berlipat ganda . mulai dari belenggu budaya patriarki dan sistem yang menindas hari ini. Pada masa komunal primitif perempuan ditindas dari segi ekonomi, yang awalnya perempuan sebagai penemu lahan kerja diambil alih oleh ambisi laki-laki. Pada masa kolonialisme perempuan ditindas dari segi politik, pendidikan, kebebasan dan lainnya bahkan mengakar hingga hari ini.
Namun faktanya perempuan hari ini terlepas dari problematika kesetaraan, gender, patriarki, dan lain-lain, sebenarnya sudah bertransformasi menjadi musuh yang tidak harus dilawan oleh perempuan saja. Tetapi harus bergandengan dengan laki-laki untuk sama-sama melawan sistem yang menindas.
Sistem ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, dan sistem-sistem lain yang menindas hari ini menjadi tombak utama dalam upaya mengentaskan dampak-dampak negatif dari adanya sistem tersebut. Seperti komersialisasi pendidikan, ketimpangan ekonomi, konstruksi sosial yang membelenggu kaum perempuan dan memberatkan laki-laki khususnya, padahal secara keserataan laki-laki dan perempuan adalah sama.
Maka perlu adanya penyadaran yang masif dari kalangan terpelajar, perlu adanya rangkulan dari kalangan yang sadar, akan situasi dan kondisi negara hari ini. Bahwa kondisi negara sudah tidak sesuai dengan sila ke lima “keadilan bagi seluruh rakyat indonesia”. Dengan cara berorganisasi, mengorganisir masa, dan terlibat dalam aktifitas politik dan perjuangan agar terbebas dari belenggu sistem yang menindas.
Seperti yang dikatakan oleh Gloria Steinem, feminis, jurnalis dan aktivis perempuan, “Kisah perjuangan perempuan untuk kesetaraan gender bukan milik seorang feminis atau organisasi saja, melainkan gabungan dari semua orang yang peduli tentang hak asasi manusia.” Oleh karena itu, agar perempuan bisa didengar dan memperoleh hak-haknya dibutuhkan usaha dan kekuatan yang besar dari seluruh lapisan masyarakat.
Tentang penulis: Rosinta Bela merupakan Mahasiswa UIN Banten Jurusan BSA, aktif berorganisasi di Kumala dan Sempro.