Oleh: Henriana Harta
Dalam peta etnografi, Indonesia dikenal sebagai sebuah Negara yang multi etnis, multikultur dan multiras, dibangun oleh ratusan suku bangsa dan ribuan kelompok masyarakat hukum adat dengan latar belakang budaya yang berbeda satu sama lain. Kemajemukan masyarakat penduduk Indonesia ini bukan saja dibentuk karena keberagaman etnis, melainkan juga perbedaanya dalam latar belakang sejarah, kebudayaan, agama dan system kepercayaan yang dianut, serta lingkungan geografisnya. Akan tetapi perbedaan tersebut mampu dibingkai menjadi visi yang sama yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam prakteknya, tercatat 2.332 komunitas adat dengan latar belakang budaya yang berbeda yang ada di Indonesia (Catatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara).Di Provinsi Banten, tepatnya di Kabupaten Lebak, terdapat 2 tipologi masyarakat adat berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak. Perda Kabupaten Lebak No. 32 tahun 2001 tentang Perlındungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy dan Perda Perda Kabupaten Lebak No. 8 Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Kasepuhan. Upaya pemerintah untuk mengakui keberadaan masyarakat adat di Kabupaten Lebak tertuang dalam Peraturan daerah tersebut.
Hal ini membuktikan keseriusan negara untuk hadir ditengah tengah keberlangsungsan kehidupan masyarakat adat. Eksistensi masyarakat adat kasepuhan di Kabupaten Lebak yang didukung oleh pemerintah berimplikasi terhadap kuatnya identitas dan jatidiri asli, terjaminnya hak masyarakat adat, dan kebebasan masyarakat adat untuk melaksanakan tatali paranti karuhun yang menjadi ruh dari kehidupan masyarakat adat itu sendiri. Hal ini memberi ruang lebih kepada masyarakat adat di Kabupaten Lebak untuk melaksanakan ritual-ritual kebudayaanya.
Kasepuhan Cisungsang sebagai salah satu komunitas masyarakat adat Kasepuhan di Kabupaten Lebak tetap pada jadi dirinya, yaitu sebagai kelompok masyarakat adat yang tetap teguh menjalankan warisan tradisi salah satunya dengan Ritual “Ngamitkeun Sri Ti Bumi”. Secara harfiah, Ngamitkeun Sri ti Bumi berarti mengangkat padi dari tanah.
“Ngamitkeun Sri Ti Bumi”sebagai salah satu ritual, merupakan siklus penting dalam tradisi bercocok tanam masyarakat adat Kasepuhan Cisungsang. Ritual ini sebagai penanda “Panen Raya” akan dimulai serentak oleh seluruh anggota (Incu Putu) Kasepuhan Cisungsang dan merupakan satu dari lima ritual penting lainnya di Kasepuhan Cisungsang, yaitu Prah prahan (Cacah Jiwa) yang dilakukan pada Hari Jum’at pertama Bulan Muharam, Rasul Pare di Leuit, Rasul Seren Taun dan Jatnika Nibakeun Sri Ti Bumi.
Event Budaya ini pada hakekatnya adalah berbagi, peduli, dan menebarkan kasih sayang terhadap sesama dan bentuk keinginan kuat untuk tetap melestarikan, menjaga, dan melindungi harta titipan karuhun. Ini semua didefinisikan sebagai Green Tourism, yaitu sebuah proses pembangunan yang memiliki 4 (empat) pilar (Abdillah 2003:128), yaitu :
- Enviromental Responsibility, yaitu proteksi dan perluasan sumber daya alam dan lingkungan fisik untuk menjamin kehidupan jangka panjang dan
keberlangsungan ekosistem. - Local Economy Vitality, yaitu mendorong tumbuh dan berkembangnya ekonomi local
- Cultural Sensitivity, yaitu mendorong penghormatan dan penghargaan terhadap adat istiadat dan keragaman budaya.
- Experimental Richness, yaitu menciptakan dan memperkaya atraksi melalui partisipasi aktif dalam memahami personal dan keterlibatan antara manusia, alam dan budaya.
Tentang Penulis: Henriana Harta merupakan Sekretaris Adat Kasepuhan Cisungsang