Berarsirannya tahapan pemilu dan pemilihan tahun 2024 mendatang, dikhawatirkan menjadi menyebab terjadinya disfungsi kewenangan KPU sebagai penyelenggara teknis. Hal demikian terjadi karena pada waktu yang bersamaan, KPU dan perangkatnya harus mengelola dua tahapan sekaligus dengan personel dan durasi kerja yang terbatas. Pada titik itu, konsentrasi kerja KPU pasti tidak akan seimbang. Ada salah satu fungsi KPU yang maksimal dalam menjalankan tahapan tertentu, namun abai terhadap tahapan lainnya.
Diketahui, KPU mensimulasikan, pemungutan suara Pemilu 2024 adalah pada bulan Februari dan atau Maret. Sementara Pemilihan 2024 dilaksanakan pada bulan November. Untuk simulasi anggaran, mulai tahun 2021 hingga 2025, KPU mengestimasi kebutuhan untuk pemilu mencapai Rp 86,2 triliun. Sementara untuk pemilihan, dengan rentang waktu pengalokasian tahun 2023-2024, dibutuhkan Rp 26,2 triliun.
Dua tahapan yang diprediksi KPU bakal keteteran dalam menjalankan fungsinya adalah:
- Validasi daftar pemilih. Pertanyaan mendasarnya adalah, apakah KPU hendak menggunakan Daftar Pemilih Berkelanjutan (DPB) sebagai sumber data coklit, atau sinkronisasi antara Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu/Pemilihan terakhir. Pertanyaan berikutnya adalah, apakah coklit juga dilakukan ketika menjelang pemilihan. Jika dua kali coklit dilakukan, pada waktu yang kurang dari setahun, maka diperlukan kerja ekstra petugas coklit di lapangan. Faktanya adalah, karakteristik pemilih pada pemilu dan pemilihan, sangat jauh berbeda.
- Tahap teknis penyelenggaraan. Pada daerah yang ada calon perseorangan, verifikasi faktual dukungan dilakukan pada rentang waktu Oktober 2023 hingga Februari 2024, itu artinya bersamaan dengan persiapan pemungutan suara pemilu. Kemudian jika terjadi Pilpres putaran kedua, maka bersamaan dengan tahapan pencalonan pemilihan, yakni bulan Agustus 2024. Pun demikian jika terjadi pemungutan suara ulang (PSU) akibat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) maka tahapannya bersamaan dengan pencalonan pemilihan. Sekedar perbandingan, pada Pemilu 2019 silam, terjadi 262 sengketa Perselisihan Hasil Pemilu (PHP).
Berkaca pada hal di atas, JRDP berpendapat selain diperlukan peningkatan skill kepemiluan badan ad hoc KPU (PPK, PPS, dan KPPS), namun juga dibutuhkan penguatan pada tataran regulasi. Misalkan untuk meringankan beban kerja KPU, maka penggunaan IT menjadi salah satu solusi. Pun demikian dengan Bawaslu. KPU perlu mengkonsolidasikan fungsi Sirekap, sementara Bawaslu perlu menegaskan fungsi Siwaslu. Dua alat kerja itu dipercaya akan mempercepat proses penghitungan dan rekapitulasi perolehan suara.
Tahun 2024 adalah ujian sesungguhnya bagi konsolidasi demokrasi di Indonesia. Karena keserentakan pemilu dan pemilihan pada 514 kabupaten/kota dan 34 provinsi akan terjadi pada tahun tersebut. Kepada para peserta pemilu/pemilihan, dalam hal ini parpol, JRDP berpesan agar sungguh-sungguh menghasilkan kandidat yang kredibel dan terpercaya. Jangan kemudian, kompetisi politik yang bersifat kolosal itu justru makin menjadikan parpol lebih pragmatis dan mudah dibajak kekuatan oligarki.
Tentang Penulis: Anang Azhari sebagai Koordibator Jaringan Relawan untuk Demokrasi dan Pemilu