hipotesa.id – Lagi-lagi tentang waktu aku menulis untukmu. Berjalan mundur ke belakang, kukira akan membuatku terjatuh. Aku, perlu berbalik menghadapi masa lalu yang takkan lagi di depan. Ya, tentu saja. Namun bagaimana bila untuk sekali ini saja, aku berbalik menghadap penuh masa lalu yang kini memintaku untuk menjalaninya.
Bukankah dengan berbalik dan berjalan menujunya, sekali ini saja ia berada didepanku?. Aku hanya ingin berbalik sebentar, melihat jejak-jejak kisah yang kini bersisa jalanan kosong. Tentu saja kehadiranmu nihil.
Kilas balik ini bukan sama sekali jatuh cinta lagi. Ada banyak sekali kepingan hati yang berserakan disana. Namun aku tetap menapak pada jalanan kosong itu. Sedang pada kedua sisi jalanan ini, kulihat mata-mata hati yang mengintai dalam diam. Menyelisik rasa sakit yang kini ku gunakan sebagai lentera dalam perjalananku kembali pada masa lalu.
Kau tahu, jalanan itu teramat panjang. Dan aku baru menyadarinya dalam kata ternyata. Ia sejauh harapan kita pada sang kekasih yang tak pernah berbalas kasih. Namun ia pun setegar pendirian kita. Untuk tetap berharap walau tersakiti adalah kenyataan yang bersembunyi dibalik kata biarlah. Membiru, ia seperti racun yang terperih. Harusnya kita telah mati dalam kebahagiaan semu. Sebab kenyataan terlalu nyata untuk menghancurkan harapan itu sendiri.
Aku terus menapak, membiarkan bias cahaya lentera ini walau apa yang ku sebut tadi dengan rasa sakit, memunculkan kembali pelakon kisah lama dan cuplikan kenangannya dalam ingatanku. Dan bukan suatu kebetulan, kutemui sepasang yang mengaku dirinya sebagai pemiliki mata-mata hati yang mengintai dalam diam. Mereka sama-sama rapuh. Terlalu jauh untuk mengejar sang kekasih. Atau lebih tepatnya, terlalu dalam menyakiti diri sendiri. Dan aku tak punya kata yang berarti untuk diberi. Nyatanya sepasang itu memilih rasa sakit mereka masing-masing.
Yang suatu hari melanggang buana, menyusuri hutan jati diri. Tak peduli derasnya hujan yang jatuh, atau pada kilat yang menyambar. Sebab gemuruh dalam hati adalah nelangsa yang tak punya jalan pulang. Ia butuh penawar, sebab cinta yang baru masih dalam perjalannya bersama waktu. Tak peduli siapa sosok itu, ada rasa yang perlu dibalas. Dicintai atau Mencintai asal jangan rasa sakit itu.
Sedang yang lain. Ia adalah seorang gadis muda yang tetap ada disana. Tak sedikit pun bergeming dengan do’a yang tak pernah di amin. Mungkin disitulah letak salahnya atau memang ketetapan takdir tidak selamanya cinta yang berbalas. Linangan air matanya adalah untaian kenangan yang meminta terulang kembali. Masih juga tepaut pada waktu keyakinannya hanya satu, Dicintai oleh dia yang mencintainya. Dengan begitu segala khayalan gila takkan menjadi pemicu para pencuri kenangan bersemayam dalam ingatannya.
Sepasang itu menghentikkan langkahku. Tidak, mereka bukan sepasang kekasih, sekalipun berdampingan. Lewat telepati, mereka membisikan harap padaku akan nama yang tersemat pada tiap-tiap mata hati itu.
Maka disanalah aku kehilangan pengetahuanku. Yang kupunya hanyalah perasaan yang membatu lentera ini tetap menyala. Perihal dicintai dan mencintai, sepasang itu dan harapannya masih jauh dari kata bahagia. Namun mereka tetap mengejar apa yang telah diyakini. Mungkinkah menemukan kekasih yang baru atau tetap menyendiri bersama bayangan masa lalu. Aku kehilangan pengetahuanku. Tak ada lagi yang mampu kulihat sejauh perjalananku. Berbalik pada masa lalu.
Kontributor: Nabila