Setiap orang punya kemalangannya masing-masing, tetapi apapun bentuk kemalangan yang menimpa kita dan bagaimanapun jenis kemalangan yang menimpa kita adalah hal yang tergantung bagaimana kita menyikapinya, bisa jadi kemalangan adalah kenikmatan dan bisa jadi juga kemalangan itu ialah kerusakan.
Manusia ketika ditimpa kemalangan setidaknya ia membuka nuraninya untuk menangkap segala hal dari kemalangan itu, mulai dari dibalik kemalangannya sampai akibat puncak dari kemalangannya, karena kemalangan sendiri akan mendekatkan kita kepada keputusasaan, apabila persiapan mental dan ragawi adalah tidak menjadi suatu hal yang diutamakan. Sehingga ketika kemalangan tersebut menimpanya ia sudah siap saga. Orang-orang yang selalu merasa aman di setiap waktu akan membawakannya kepada kehancuran, baik kehancuran ragawi sampai kehancuran mental.
Sebagaimana dalam Syair yang dikutip Ibn Jawzi dalam al-Thib al-Ruhani;
“Orang yang punya nurani
Mengandaikan musibah terjadi
Sebelum benar-benar terjadi.
Begitu musibah menyerang tiba-tiba
Ia tak gentar menghadapinya
Sebab dirinya sudah siaga.
Sementara, orang yang hatinya buta. merasa hari-harinya aman-aman saja
Lupa sesuatu bisa menyerbu orang alpa.
Begitu beliung waktu meletakkan bencana, Ia melolong, berharap bantuan segera tiba.
Padahal jika ia tangani masalahnya
Dengan hati sekeras baja, ia pasti tahu bahwa: “Kesabaran adalah sebaik-baik bala bantuan.”
Dari sini sudah jelas bahwa kesabaran bisa menjadi kunci untuk kita bisa berdamai dengan kemalangan, sebab kemalangan bisa jadi adalah penempaan kepada diri kita untuk mempersiapkan kita menaiki tingkatan yang lebih tinggi, mulia, dan agung. Maka bersabarlah! Barangsiapa yang bersabar maka sampailah ia.
Selain itu, kemalangan juga bisa jadi merupakan pembersihan atas kotoran dalam dada dan perbaikan atas kerusakan dalam diri. “Sebuah batu akik,” kata Maulana Rumi, “tak akan patut menjadi cincin sebelum bentuknya cocok dengan embannnya. Maka, batu akik yang ingin menjadi cincin harus rela dipahat dan dipukuli.”
Bersabar atas kemalangan yang menerpa diri, karena kemalangan bisa berarti pembersihan dan perbaikan sebagaimana orang yang memukuli karpet dengan tongkat tidaklah bermaksud untuk menyiksa karpet tersebut, akan tetapi itu untuk membersihkannya dari debu dan kotoran. Demikian juga kemalangan, ia menerpa manusia sebab ia hendak membersihkannya dari segenap penyimpangan dan kekeliruan.
Penulis: Cak Muhaimin (Direktur Eksekutif Sekolah Filsafat Averroes)