hipotesa.id – Rupa bukanlah ciri sebuah kebanggaan dan substansi dari menjadi manusia. Karena hal yang paling penting yang dilihat pada diri kita sebenarnya ada pada sesuatu yang tak terlihat dan juga hanyalah zat yang tak terlihat yang mampu melihat, sesuatu itu adalah hati.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat badan kalian atau rupa kalian melainkan Allah akan melihat hati kalian.”
Pemahaman rupa ragawi yang elok bukanlah simbol dari kemuliaan manusia, bisa kita tilik juga dalam kisah guyon dari al-Farabi tentang tiga astrolog yang berjalan-jalan ke kota. Tiga Astrolog tersebut ketika berjalan-jalan, mereka melewati lelaki muda yang bagus badannya dan elok rupanya. Para astrolog itu pun mengajak pemuda itu berbincang-bincang hingga mereka kaget karena mengetahui ternyata dibalik rupa yang rupawan tersimpan otak yang kosong. Para astrolog pun satu per satu mencoba meramal pemuda tersebut.
Astrolog pertama meramal, “Dia akan dipatuk ular dan racun ular itu akan menyebar dengan cepat ke seluruh tubuhnya yang kemudian membunuhnya.
Selanjutnya, astrolog kedua berkata, “Sepertinya dia akan jatuh dari ketinggian yang akan mengakibatkan lehernya patah.”
Sebagaimana astrolog pertama dan kedua yang meramal buruk untuk pemuda tersebut, astrolog ketiga pun berkata, “Pemuda itu akan tenggelam di air banjir dan kemudian tewas.” Para astrolog itu pun belum beranjak pergi, sesaat pemuda tersebut memanjat pohon untuk memetik buah-buahan, lalu di batang pohon itu dia dipatuk ular sehingga dia jatuh ke sungai di bawah pohon tersebut. Kemudian tenggelam dibawa arus air yang sulit dibendung sehingga menyebabkan ia tewas.
Begitulah jika kita hanya mengandalkan rupa ketimbang hal-hal yang substantif untuk menjadi manusia. Apabila manusia hanya mengandalkan rupa ragawinya, apalah guna untuk dirinya, apatah lagi saat berada di sebuah penghujung tanduk, sebab keelokan rupa sama sekali tidak mampu menolongnya.
Oleh karena itu, rupa yang elok tanpa hati yang jernih dan otak yang bernas adalah kesia-siaan. Sekalipun rupanya elok, ia akan menjadi hina dan tidak bermartabat. Apatah lagi, orang yang sudah memiliki rupa yang tak elok sekaligus hati yang kotor dan otak yang bebal. “Jika rupa yang tak elok,” kata Platon, “tidak dibarengi dengan otak yang bernas, maka ia mengumpulkan dua keburukan dalam dirinya.”
Apabila keburukan yang wujud dalam diri manusia tidak dibersihkan, hanyalah kedukaan yang mendalam menunggunya. Keburukan rupa bisa ditutupi dengan kebaikan hati dan akal yang bernas, sedangkan keburukan hati tidaklah mampu ditutupi dengan keindahan rupa.
Tidaklah berlebihan jika dikatakan, rupawan yang sejati adalah seseorang yang menghiasi dirinya dengan ilmu seperti yang digambarkan dalam syair populer dalam kitab ta’lim al-muta’allim, “Belajarlah! Karena ilmu adalah penghias bagi pemiliknya, ia perlebihan dan pertanda segala pujian.”
Sebab dengan ilmu, kebaikan hati dan akal yang bernas bisa mengada. Tanpa ilmu, manusia hanyalah hewan yang tiada beda dengan hewan lainnya, sekalipun ia memiliki rupa yang elok dan menggoda.
Penulis: Cak Muhaimin
Direktur Eksekutif Sekolah Filsafat Averroes
Ilustrator: Bd Chandra