hipotesa.id – Nama KH Sochari tentu sangat familiar, khususnya bagi warga Al-Khairiyah. Ia adalah pejuang kemerdekaan yang merupakan santri angkatan pertama yang dididik langsung oleh Brigjend. KH. Syam’un. Tak heran, jika putra KH Aliyudin, pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Darussalam yang didirikan pada 1917 di Desa Pipitan, diabadikan menjadi nama Jalan Raya di sekitar Kidang, Serang Kota.
Memasuki tahun 1923, KH. Sochari kembali ke kampung halamannya untuk membantu ayahnya mengurus pesantren. Ia mendirikan Madrasah Al-Khairiyah di Desa Pipitan yang merupakan cabang ketiga Al-Khairiyah setelah Citangkil dan Delingseng.
Di samping sebagai pengasuh pesantren, KH Sochari juga dikenal sebagai mubalig yang ulung dalam berpidato. Sehingga setiap kali memberikan ceramah, pendengarnya menyimak dengan antusias dan seksama. Gaya bicaranya yang sejuk diselingi guyonan yang kocak, mampu menghibur semua kalangan.
Keluhuran ahlak dengan tutur kata lembut, KH. Sochari dikenal sebagai sosok ulama yang pandai bergaul. Ia tidak pernah memandang latar belakang seseorang. Wajar saja, jika Ia bisa menjalin hubungan baik dengan kelompok NU, Muhamadiyah, jawara bahkan PKI sekalipun.
Pada tahun 1945, pasca kemerdekaan, karena keluhuran akhlak dan kecerdasan sosialnya, KH. Sochari diangkat menjadi Wedana Ciruas oleh gurunya, KH. Syam’un yang saat itu menjabat Bupati Serang sampai dengan tahun 1949.
Selama menjabat Wedana, Ia dikenal dekat dengan rakyat. Setiap lebaran tiba, Kiyai kelahiran 1889 ini, rutin membelikan kebutuhan masyarakatnya, mulai dari pakaian hingga makanan. Ia juga tidak pernah sungkan mengajak rakyatnya menaiki kendaraan dinasnya berupa delman, jika berpapasan di jalan.
Sebagai ulama sekaligus pemimpin, kebijakan-kebijakan diambilnya selalu berdasarkan aspirasi masyarakat bawah. Hal ini dilakukan lantaran KH. Sochari mendambakan kepemimpinan ala Rasulullah dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana yang sering ia ungkapkan kepada murid-muridnya.
Rekam jejak perjuangannya, KH. Sochari merupakan sosok ulama yang berjuang langsung melawan Belanda. Ia berjuang melawan penjajah sejak usia muda. Pada peristiwa Agresi Belanda II, ia berjuang untuk tanah air melawan pasukan penjajah dengan cara bergerilya dan bertahan di Kampung Simanjangan Gunung, Taktakan, Serang. Pada tahun 1960, sosok Kiyai sekaligus pemimpin yang didambakan oleh Indonesia itu berpulang ke rahmatullah.
Sumber: ‘Jejak Ulama Banten: dari Syeikh Yusuf hingga Abuya Dimyati’, Biro Humas Pemprov Banten dan Wawancara dengan Beberapa Keturunannya.
Penulis: Cak Muhaimin
Editor: Bd Chandra