Oleh: Anang Azhari
hipotesa.id – Pasca tidak dimasukannya Rancangan Undang-Undang Pemilu pada Prolegnas 2021 di DPR RI, Pemerintah, Komisi II DPR RI dan Penyelenggara Pemilu akhirnya tidak lagi membahas rancangan undang-undang tersebut. JRDP mengingatkan agar semua pihak jangan hanya bertahan pada pendekatan politik saja. Berbagai kebutuhan perubahan regulasi dan ancaman kembalinya jatuh korban akibat kelelahan dalam menyelenggarakan pemungutan dan penghitungan suara di TPS, seolah tidak menjadi persoalan dan hanya bahan evaluasi omong kosong tanpa solusi.
Tim Kerja Bersama Pemilu dan Pilkada 2024 akhirnya setelah sekian bulan dibentuk akhirnya baru melakukan rapat pertamanya Senin ini 24 Mei 2021. JRDP berharap Tim Kerja Bersama ini agar bekerja cepat dan efisien mengingat rancangan Tahapan yang ditawarkan oleh KPU semakin dekat dan tentu harus sudah matang baik dari sisi regulasi dan persiapan teknisnya.
JRDP menyebut, dari tahapan dan kesiapan teknis yang dijabarkan oleh Penyelenggara Pemilu pada RDP 15 Maret 2021 yang lalu. Dirasa banyak tahapan yang krusial dan tahapan yang berpotensi menjadi masalah pada penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada 2024. Selain tahapan yang berarsiran antara tahapan Pemilu dengan tahapan Pemilihan, aspek-aspek regulasi serta aspek lainnya perlu menjadi perhatian bersama agar pelaksanaan Pemilu dan Pemilihan 2024 bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Tentunya kelancaran pelaksanaan setiap tahapan akan berkolerasi dengan hasil dan kualitas Pemilu dan Pemilihan itu sendiri. Pola pengawasan dari pengawas pemilu dan pengawasan dari masyarakat pun perlu ditingkatkan akibat padatnya tahapan pesta demokrasi ini.
JRDP juga mengungkap bahwa dari hasil pencermatan terhadap kondisi persiapan yang dilakukan oleh semua pihak, termasuk penyelenggara pemilu dan simulasi tahapan Pemilu dan Pemilihan tahun 2024 yang sudah dirancang oleh KPU, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan dan diantasipasi oleh kita semua. Yaitu:
1. Program Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan yang sedang dilakukan oleh KPU saat ini tentunya memang menjalankan amanat UU No 7 Tahun 2017, akan tetapi akan timbul persolan nanti di 2024 ketika sumber data coklit yang diambil juga selain dari hasil DPB tentu mengambil juga dari DP4 Kemendagri. Hal ini dikhawatirkan masalah data pemilih yang diperbaiki berkala oleh KPU akan kembali rancu ketika digabung kembali dengan DP4 untuk data bahan Coklit.
2. Jika mengacu pada simulasi tahapan, pada daerah yang ada calon perseorangan, verifikasi dukungan bersamaan dengan persiapan pemungutan suara pemilu. Kerumitan dan fokus Petugas yang terbagi juga perlu diperhatikan.
3. Jika terjadi Pilpres putaran kedua atau terjadi PSU akibat putusan Mahkamah Konstitusi, maka bersamaan dengan tahapan pencalonan pemilihan (pilkada).
Pada tahun 2022 dan 2023, ada banyak periodesasi KPU dan Bawaslu Provinsi serta Kabupaten/Kota yang berakhir. Tentu JRDP berharap Penyelenggara Pemilu baik KPU maupun Bawaslu seluruh jenjang tetap fokus dan profesional dalam menjalankan kerja kerja kepemiluannya tanpa terganggu oleh tahapan seleksi.
4. Belum adanya regulasi yang kuat untuk menopang penggunaan alat dukung atau alat bantu yang berbasis teknologi . Untuk alat bantu/alat dukung teknologi informasi yang melibatkan penyelenggara pemilu adhock seperti SIREKAP dan SIWASLU sangat bergantung terhadap insfrastruktur seperti ketersediaan jaringan internet di semua daerah dan pemahaman penggunaan SDM yang melibatkan seluruh penyelenggara adhock. Serta yang tidak kalah penting juga kasus SITUNG pada Pemilu 2019 tidak terulang kembali. Konsidi sosial politik menjadi salah satu faktor yang fundamental bagi Indonesia jika menerapkan digitalisasi pemilu atau teknologi pada Pemiliu terutama SIREKAP yang ada pada tahapan rekapitulasi dan hasil, problem distrust, pemahaman publik dan politisasi opini publik lewat isu negatif dan hoax masih menjadi persolan.
Tentang Penulis: Anang Azhari, Kordinator Umum Jaringan Rakyat untuk Demokrasi dan Pemilu (JRDP)