Oleh: Agus Ali Dzawafi
على العقيق اجتمعنا / نحنُ وسودُ العيــونِ
ما ظُنُّ مجنـــــون ليلى / قد جُنَّ بعض جنوني
فيا عيـوني .. عُيُوْني / ويا جفوني جُفُوْني
ويا قُليبي تصـبَّر / على الذي فـارقوني
مازلت أمُّ المطــايا / وقلت هـم يحملوني
إلى منـازل قومٍ / ساروا ولا ودعـوني
فارقتهم يوم الاثنين / صبح الثلوث أوحشوني
هـم سادة خلّفـوني / أبكي دماً من عيـوني
بكيت حتى رثـــــى لي / الطير فــوق الغصون
بالله إن متُّ شوقــــــاً / بأدمعــي غسّــــــلوني
Memahami puisi (الشعر) lebih sulit daripada memahami prosa (النثر). Apalagi ketika menerjemahkannya, pasti banyak keindahan lafal (محسنات لفظية) yang hilang dalam versi terjemah di samping juga keindahan makna (محسنات معنوية). Bagi saya, memahami puisi itu hampir sama dengan memahami al-Qur’an dan Hadis. Jika memahami al-Qur’an dan Hadis, kita harus mengetahui sebab turun (أسباب النزول) ayat dan sebab munculnya (أسباب الورود) hadis, begitu juga dalam memahami puisi, kita harus mengetahui konteks puisi itu lahir. Tanpa memahami konteks lahirnya puisi, sangat besar kemungkinan akan terjadi salah paham dalam memahami puisi. Lihat saja puisi Sitor Situmorang yang berjudul Malam Lebaran. Isinya hanya “purnama di atas kuburan”. Banyak yang mencoba menjelaskan makna puisi itu tetapi salah atau tidak sesuai dengan maksud yang dikehendaki penulis karena mereka tidak memahami konteksnya.
Penggalan puisi di atas adalah على (العقيق) اجتمعنا dst terdapat dalam kitab مولد النبي للديبعي الزبيدي, dinisbatkn pada banyak penulis, di antaranya Suhrawardī al-Maqțūl (w 1191), ‘Abd al-Hādi al-Sūdī (hidup abad 7 H), al-Habib Ahmad Musawi. Kelihatannya, Suhrawardī yang terbunuh (al-Maqțūl) yang punya bait-bait ini. Al-Maqțūl disematkan untuk membedakan dengan Suhrawardī-Suhrawardī yang lain, semisal Shihāb al-Dīn ‘Umar al-Suhrawardī. Pengarang kitab ‘Awārif al-Ma‘ārif. Nama lengkap Suhrawardī al-Maqțūl adalah Shihāb al-Dīn Yaḥyā al-Suhrawardī. Supaya gampang membedakan antar keduanya, yang bernama Yaḥyā (hidup) yang dibunuh (“mati”).
Kata al-‘aqīq sebenarnya tidak asing di telinga kita. Ya, batu akik. Kata yang sudah diserap oleh Bahasa Jawa dan juga Bahasa Indonesia. Kata al-‘aqīq yang dimaksud dalam puisi di atas adalah batu akik Yaman (العقيق اليماني) yang berwarna merah. Dianggap sebagai batu akik termahal dan terindah di dunia yang mengandung aluminium, magnesium dan kalsium. Saya tidak paham dunia perakikan. Untuk mengetahui bentuk detailnya, silahkan googling sendiri dengan menggunakan kata kunci “akik yaman”.
على (العقيق) اجتمعنا / نحنُ وسودُ العيــونِ
Jika ahli permata dan batu mulia menganggap Akik Yaman berharga karena mengandung unsur geologi yang unik maka para sufi melihat esensi yang terkandung dalam Akik Yaman, yaitu kesatuan esensi dari unsur yang bermacam-macam. Sesuatu yang disebut sebagai al-Jam‘u fī ‘ayn al-firaq. Mirip dengan makna Bhinekka Tunggal Ika. Berbeda-beda tetapi tetap satu juga. Akik Yaman ini juga mewakili konsep al-waḥdah fī al-kathrah (kesatuan dalam keberagaman) dan sekaligus al-kathrah fī al-waḥdah (keberagaman dalam kesatuan) dalam dunia Tasawuf.
Adapun mata yang hitam (وسودُ العيــونِ), hitam di sini menunjukkan warna yang banyak dan bermacam-macam dengan bentuk tak terbatas. Ibn Hazm al-Andalusi menyatakan bahwa hitam bukanlah warna. Akan tetapi ia muncul dari kegelapan berkesinambungan yang dibatasi oleh cahaya. Cahayalah yang membatasi derajat “kehitaman” dalam obyek pandangan. Mata kita yang bisa disifati dengan warna hitam, memandang akik dengan berbagai macam bentuknya, dalam hal ini ada persamaan keragaman akik dengan keragaman obyek pandangan. Melalui bait puisi ini, Suhrawardī ingin menyampaikan pesan: Wahai hamba Allah, Kalian seperti batu akik dalam esensi diri kalian yang tunggal dan Kalian juga seperti batu akik dalam keragaman bentuk, apakah masih mungkin bagi Kalian untuk menolak dua hakikat ini (al-waḥdah fī al-kathrah dan al-kathrah fī al-waḥdah)?
ما ظُنُّ مجنـــــونَ ليلى / قد جُنَّ بعض جنوني
Kisah cinta Laila Majnun lebih hebat dibandingkan kisah cinta Romeo and Juliet. Majnun, tokoh laki-laki dalam bait puisi di atas, dinisbatkan kepada banyak nama. Di antaranya adalah Qays ibn al-Mulawwah. Kegilaan (الجنون) dianggap sebagai derajat tertinggi dalam tingkatan cinta (الحب). Tingkatan cinta sebagaimana yang disebutkan oleh Shawqī Ḍayf dalam buku الحب العذري عند العرب adalah sebagai berikut:
- Hawa (الهوى) adalah kecenderungan pada yang dicintai (المحبوب)
- Rindu (الشوق), ketertarikan pencinta untuk bertemu.
- Suara kerinduan (الحنين), kerinduan yang bercampur dengan rasa sensitif (sentimentil).
- Cinta (الحب), awal dari keharmonisan.
- Gairah (الشغف), keinginan untuk selalu melihat kekasih. Nabi Yusuf as telah membuat Zulaikha mabuk cinta (QS Yusuf: 30)
- Gemar (الغَرام), ketergantungan kepada kekasih dan tidak dapat terlepas darinya.
- Asyik (العشق), tingkatan ekstrim dalam cinta, selalu ingin bersatu dengan kekasih. Lagu sik asik yang dilantukan Ayu Ting Ting sebenarnya mempunyai makna yang mendalam jika dipahami dari sudut pandang ini.
- Jatuh hati (التَّـتيُّم), menjadi budak kekasih.
- Pemujaan (الهُيام), cinta yang dahsyat sehingga hampir saja sang pecinta kehilangan akalnya.
- Kegilaan (الجنون), cinta yang merenggut akal pecinta.
Seseorang yang mendengar cerita Majnun tentang Laila menjadi sangat penasaran dengan kecantikan Laila. Sehingga dia bertekad untuk menjumpai Laila. Setelah melihat Laila, dia berkata: “Nggak cantik-cantik amat Laila. Kenapa Majnun bisa begitu tergila-gila?” Laila yang mendengar ucapan orang ini membalas: “Diamlah, Engkau tidak melihatku dengan pandangan Majnun”. Majnun melihat Laila dengan pandangan cinta. Seperti kata Imam Syafi’i: “Mata yang penuh kerelaan akan buta terhadap setiap aib (عين الرضا عن كل عيب كليلة). Semuanya tampak indah. Begitu juga ketika seseorang sudah mencapai maqam ridha, dia melihat semua takdir menjadi indah.
Berbagai cara telah dilakukan oleh orang tua Majnun untuk menyembuhkan kegilaannya. Salah satunya adalah mengundang perempuan-perempuan cantik dan pilihan ke rumah Majnun. Bayangan saya, seperti perempuan-perempuan peserta kontes kecantikan yang mempunyai 3 B (beauty, brain, behavior). Cantik, cerdas dan berakhlak baik. Cantik luar dalam. Tetapi usaha mengalihkan cinta Majnun ke perempuan-perempuan itu berujung sia-sia. Alih-alih tertarik, Majnun malah melihat diri Laila dalam setiap perempuan yang dilihatnya. Semua perempuan tampak seperti Laila dalam pandangan Majnun. Ada yang rambutnya seperti rambut Laila. Ada yang matanya seperti mata Laila. Hidungnya seperti hidung Laila, bibirnya seperti bibir Laila dsb. Ini yang dinamakan shuhūd al-kathrah fī al-waḥdah (menyaksikan keberagaman dalam kesatuan).
Majnun bukanlah orang gila. Majnun tidak mau berbicara dan mendengar selain pembicaraan tentang Laila. Dia tidak akan menjawab pertanyaan yang tidak berkaitan dengan Laila. Oleh karena itu, orang-orang yang ingin berbicara dengan Majnun, mereka akan membuka pembicaraan dengan menggunakan “password Laila”. Jika tema pembicaraan tentang Laila, Majnun siap untuk bergabung dan menuangkan pikirannya yang brilian sehingga semua orang yang hadir dalam pembicaraan itu mengetahui bahwa Majnun mempunyai akal yang sehat dan bukan orang gila.
Setelah Majnun meninggal dunia, seorang sufi bermimpi melihat Majnun mendapatkan tempat mulia di sisi Allah swt. Allah swt menyindir Majnun: “Tidakkah Engkau malu memanggil-Ku dengan nama Laila?”
Wallahu a‘lam (bersambung)
Penulis: Agus Ali Dzawafi, M.Fil
Dosen Ilmu Tasawuf UIN SMH Banten