hipotesa.id – Bicara puisi Chairil Anwar, bagi saya sama saja dengan masalah koruptor di negeri ini, tidak akan pernah selesai dan tidak akan ada habis-habisnya. Siapa yang tidak mengenal tokoh penyair tanah air sebagai pelopor angkatan 45 itu? Terlepas bagi siapa saja yang menggeluti dunia pepuisian, tentu semua tahu, karena karya-karya sang empu sudah kita temukan dalam pelajaran Bahasa Indonesia sejak sekolah dasar sampai pergeruan tinggi.
Yang paling kuat dari karya Chairil adalah bagaimana ia menciptakan vitalitas dalam puisinya, siapa saja—yang merasakan keadaan sebagaimana fitrah pada manusia—pasti merasakan bagaimana keadaan jiwanya sendiri pada puisi-puisi Chairil. Itu mengapa di antara banyakanya sastrawan di Indonesia, Chairil menjadi penyair yang puisinya paling banyak dikaji dan diterjemahkan ke beberapa negara di lintas benua.
Puisi-puisi lelaki kelahiran 26 Juli 1922 itu dikenal puisinya yang berapi-api, keakuan, mengandung rasa penuh semangat, dan menggebu-gebu. Demikian itu bisa kita lihat pada salah satu larik dalam puisinya yang berjudul: Aku, “Aku mau hidup seribu tahun lagi”. Meski dalam beberapa biografi, Chairil dikenal sebagai pribadi yang woles dan cendrung bebas, selengean, itu karena jalan yang ditempuh olehnya adalah jalan kemandirian. Tetapi siapa sangka, dari puisi-puisinya, memang begitulah Chairil, penuh semanagat dan pantang menyerah.
Dari pribadi seorang Chairil dan puisi-puisinya kita dapat belajar bagaimana menghadapai sebuah realitas. Meski selengean, Chairil adalah orang yang pandai merenung atau bermusahabah. Itu yang kerap disindir oleh Tuhan, toh? Di dalam Al-Qur’an acapkali kita temukan ayat tentang renungan dan pentingnya berpikir bagi manusia. Seperti ayat: Afala Ta’qilun atau Afala Tatafakkarun. Tentu kita dapat melihat dan mengambil nilai-nilai agama dalam puisinya tanpa perlu mendalil sambil yeramahi wong.
Melihat puisi-puisinya, tentu akan lebih mudah membaca ketimbang menciptakan puisi semacam puisi Chairil yang boleh kita sebut keseluruhan puisinya adalah puisi lirik. Itu menjadi kelebihan sekaligus kekurangan bagi Chairil. Dikatakan kelebihan karena Chairil mampu menyampaikan makna dari keadaan batin yang ia hayati. Tidak heran bila beberapa puisi-puisinnya menjadi keramat, di antaranya adalah puisinya yang ini:
Yang Terampas dan Yang terputus
Kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
Menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
Malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
Di karet, di karet (daerahku y.a.d.) sampai juga deru angin
Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
Dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu,
Tapi kini tangan yang bergerak lantang
Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
Puisi itu berisi tentang kepasrahan dan kepesimisan Chairil, namun itu bukan berbarti Chairil berputus asa terhadap hidup, melainkan Chairil seoalah-olah tahu atau memang tahu bahwa dalam waktu dekat, ia akan meninggalkan bumi asing yang ia tinggali. Itu mengapa disebut keramat, karena puisi itu diciptakan pada tahun di mana Chairil meninggal dunia. Ada yang mengatakan bahwa puisi gelap itu adalah semacam ramalan Chairil tentang kematiannya sendiri.
Di dunia kewalian memang ada semacam membaca takdir. Biasanya seorang wali mengetahui kapan ruhnya akan lepas dari raganya, maklum, wali, kan, kasyaf. Tetapi bukan berarti saya menyimpulkan bahwa Chairil adalah seorang wali. Yang pasti adalah bahwa puisi itu bukti kejeniusan dan penghayatan Chairil terhadap bagaimana keadaan jiwanya. Karena soal apakah seseorang itu adalah kekasih Tuhan atau bukan, itu wilayah hak prerogatif Tuhan. Itu artinya terserah Tuhan ingin menjadikan hamba-Nya yang mana saja sebagai kekasih-Nya. Maka banyak pemuka agama yang berkata: “hanya wali yang mengetahui wali” dan “seorang wali ada yang tidak mengetahui bahwa dirinya adalah wali”. Perlu diketahui juga bahwa menurut beberapa sumber, penyair kelahiran Medan itu kuburannya banyak yang menziarahi, lho, hampir setiap hari tak henti-hentinya.
Ah, rasanya terlalu jauh membicarakan maqom kewalian. Tetapi adalah asik, bukan, ketika membicarakan kekasih-kekasih Tuhan? Semua ingin, toh dijadikan Tuhan sebagai kekasih? Tentu akan jauh lebih indah bila hiup sampai ke maqom mahabah ketuhanan, atau Agape, istilah Yunaninya, ketimbang percintaan pada kisah sepasang tubuh, Eros, yang didasari oleh birahi yang gagal ditaklukan. Meski ianya menjadi salah satu kebutuhan bagi manusia di bumi. Tetapi jangan salah, para sufi biasanya memandang percintaan sepasang tubuh sebagai wujud cinta ilahiah. Di antaranya adalah Nizami melalui Layla-Majnunnya.
Oke, setelah negcaprak atau piknik sebentar ke dunia Tasawuf, saya lanjutkan tentang puisi-puisi lirik Chairil yang sekaligus menjadi kelemahan baginya. Tentu jawabannya sederhana, adalah Chairil hanya menulis satu jenis puisi, meski pada puisinya yang berjudul AKU DAN KAWANKU menjadi satu-satunya puisi beliau yang masuk jenis naratif.
Kami sama pejalan larut…
Menembus kabut,
Hujan mengucur badan,
Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan.
Darahku mengental pekat… Aku tumpat padaf…
Siapa berkata-kata?
Kawanku hanya rangka saja,
Karena dera mengelucak tenaga.
Dia bertanya jam berapa?
Sudah larut sekali,
Hilang tenggelam segala makna,
Dan gerak tak punya arti
Untuk puisi Chairil yang ini, disebut sebagai puisi naratif, karena di dalamnya mengandung rukun-rukun atau syarat sah untuk dikatakan puisi naratif, yaitu tokoh, alur, latar, tegangan dan sebaginya.
Karena puisi-puisi Chairil adalah lirik selain satu yang di atas itu, maka itu pun menjadi kelemahan bagi Chairil. Mengapa demikian? Yup, karena di dalam kesenian adalah keberagaman karya sebagai kekayaan. Seorang seniman akan dikatakan miskin bila ia tidak dapat menawarkan sesuatu yang baru, baik dari konten, tema, gaya atau teknisnya. Bahkan karya-karya dari seseorang akan dikatakan sampah atau hanya merekontruksi sampah bila dari waktu ke waktu dan musim ke musim hanya membicarakan itu dan itu saja, seperti seorang lelaki setengah dewasa yang saban hari selalu mengumumkan tentang perasaannya—yang koyak-moyak karena percintaan—dengan cerita yang sama sekali sama dari cerita sebelumnya. Tentu orang-orang yang mendengarnya akan muak karena bosan. Begitupun dalam dunia kekaryaan, setiap pengkarya ditantang untuk menciptakan yang baru dari realitas yang telah ia hadapai sebagai yang telah ia hayati.
Tetapi saya sendiri saya tidak sepakat bila Chairil disebut sebagai penyair yang miskin kecuali dalam finansial, karena bayangkan, untuk ngudud saja Chairil kadang meminta kepada para teman pamamnya—Bung Sahrir—ketika bertamu. Konon pada saat di rumah pahlawan tanah air itu didatangi tamu, Chairil mindik-mindik masuk ke ruangan, ucap permisi lalu meminta rokok. Entah berapa yang ia minta, mungkin hanya satu batang untuk nyebat, istilah sekarangnya. Namun jangan salah, hidup dalam kekurangan sudah menjadi konsekuansi bagi Chairil dalam menempuh jalan yang tidak terkekang atau kebergantungan kepada apapun dan siapapun.
Itulah mengapa saya tidak sepakat bila Chairil adalah penyair yang miskin, karena kekayaan rasa dan makna yang beragam sangat terasa begitu memembaca puisi-puisi Chairil. Adapun soal Doi yang hanya menulis lirik, barangkali itu sudah menjadi pilihan baginya, itu pun wajar-wajar saja, sebab bila ia menyampaikan sesuatu memalui puisi imajis, misalnya, barangkali hasilnya akan seperti nyala api yang kehilangan panasnya atau tidak seperti ketika ia dalam puisi lirik. Maka saya hanya akan berkata bahwa puisi lirik adalah identitas bagi Chairil itu sendiri.
Ngomong-ngomong puisi lirik, tentu tidak mudah untuk menciptakannya. Jenis puisi ini boleh dibilang sebagai puisi yang membingungkan, karena ada pemadatan kata—yang menjadi nilai kunci bagi puisi jenis ini. Diperlukan kejelian untuk memahaminya, meski tidak lebih sulit ketimbang memahami hati perempuan yang serupa teka-teki, itupun kita baru akan mengerti bila melalui parafrasa atau syarah, istilah pesantrennya.
Cahiril adalah salah satunya yang berhasil menjadikan jenis puisi lirik tidak hanya pada pemadatan kata yang khas, melainkan juga mmenggunaka semantik pada kata-perkata yang patut diacungi empat jempol, maklum, Doi rajin membaca dan menguasai empat bahasa asing, jadi banyak referensi dari dari luar yang berpengaruh terhadap puisi-puisinya. Semua ketika membaca puisi-puisi Chairil tidak akan bosan, bukan? Pasti selalu tergugah untuk membaca lagi dan lagi.
Di antara sekitar 70 puisinya, coba perhatikan puisi yang berjudul:
Cintaku yang Jauh di Pulau
Cintaku jauh di pulau,
Gadis manis, sekarang iseng sendiri…
Perahu melancar, bulan memancar,
Di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
Angin membantu, laut terang, tapi terasa
Aku tidakkan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin mendayu,
Di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
Tujukan perahu ke pangkuanku saja..
Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau aku mati, dia mati iseng sendiri.
Di situ Chairil menggunakan personifikasi untuk menyampaikan bagaimana keadaan jiwanya. Dalam istilah Sastra Arab, ini bisa dikatakan sebagai Isti’aroh bil Kinayah, kalau memakai madzhabnya As-Sakaki, di mana Chairil menggambarkan perjalanan cintanya dengan perahu yang mengarungi sebuah lautan untuk menuju sebuah pulau untuk sampai pada cintanya. Majas semacam ini sering digunakan dalam syair-syair Arab, salah satunya pada syair dalam kitab Riyadhu-Solihin sebelum bab Babu Al-Ikhlasi wa Ihdhori An-niyati fi Jami’i Al-A’mali wa Al-Aqwali wa Al-Ahwali Al-Barizati wa Al-Khofiyyati, di mana pada syair itu penyair menggambarkan kehidupan dunia sebagai gelombang pada samudera dan amal soleh sebagai kapal yang mengarungi samudera itu.
إنّ للّه عبادا فطانا طلقوا الدّنيا وخافوا الفتنا
نظروا فيها فلمّا علموا أنّها ليست لحيّ وطنا
جعلوها لجّة واتّخذوا صالح الأ عمال فيها سفنا
Ada puisi yang termashur dari Doi, adalah puisi AKU dengan larik Binatang Jalang yang menjadi julukannya. Chairil menggunakan Binatang Jalang adalah metafora atau Tasybih Baligh dalam istilah Sastra Arabnya, sebagai pesan bahwa ada persamaan antara dirinya dengan Binatang Jalang, persamaan itu dapat kita lihat pada bait-bait selanjutnya. Majas seperti ini pun sering kita temukan dalam Kitab Burdahnya Imam Busyiri yang biasa dibaca di pesantren-pesantren atau masjid-masjid. Tentu kita kenal dengan syair yang diberikan kepada Baginda Nabi Muhammad ini: Anta Syamsun Anta Badrun. Artinya: Engkau matahari, Engkau rembulan.
Aku
Kalau sampai waktuku.
Ku mau tak seorang kan merayu…
Tidak juga kau…
Tak perlu sedu sedan itu…
Aku ini binatang jalang.
Dari kumpulannya terbuang…
Biar peluru menembus kulitku.
Aku tetap meradang menerjang…
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari…
Hingga hilang pedih peri,,,
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi…
(Maret 1943)
Tetapi tidak kalah menarik ketika melihat puisi lelaki yang dijuluki si Binatang Jalang itu yang berjudul LAGU SIUL, ada simile sebagai perbandingan antara bagaimana keadaan batinnya dengan Ahasveros, seorang raja Persia 400 SM yang mengembara untuk mencari jati diri hingga kemudian gila karena memikirkan banyak hal. Dalam puisi yang berisi pesan melankolia itu, kita tidak hanya merasakan betapa kepedihan yang ditanggung oleh Chairil, melaiankan juga kita diajak dan didorong piknik untuk melihat apa dan bagaimana sebuah sehajarah.
Lagu Siul
Laron pada mati
Terbakar di sumbu lampu
Aku juga menemu
Ajal di cerlang caya matamu
Heran! ini badan yang selama berjaga
Habis hangus di api matamu
‘Ku kayak tidak tahu saja.
II
Aku kira
Beginilah nanti jadinya:
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros
Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta,
Tak satu juga pintu terbuka.
Jadi baik kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa,
Aku terpanggang tinggal rangka
(25 November 1945)
Di dalam puisi itu juga Chairil menggunakan kata Eros sebagai wujud penderitannya. Tentu banyak pengetahuan yang kita dapat setelah membacanya, kita tidak hanya akan melihat Dewa Cinta dalam Mitologi Yunani itu, melainkan semua yang berkaitan dengannya. Itupun jika mencari tahu melalui buku-buku sejarah atau sekadar Googling. Itulah yang selalu menjadi nilai lebih bagi puisi-puisi Chairil. Dengan kejeniusannya, ia mampu menyatukan pengetahuan, keilmuwan, dan perasaannya menjadi puisi…
Penulis: Hanif Farhan (Penyair, Santri Pesantren Utawi Iki-Iku el-Palasii)