Oleh: Ahmad Fadhil
hipotesa.id – Ali Zainal Abidin adalah cicit Rasulullah Saw. Seperti yang dilakukan oleh ayahnya, al-Husain, dan kakeknya, Ali bin Abu Thalib, beliau juga berjuang menjelaskan ajaran-ajaran agama Islam yang dibawa oleh datuknya, Rasulullah Saw, dan menguatkan keterikatan kaum mukminin dengan Allah SWT.
Salah satu instrumen yang digunakan oleh Imam Ali Zainal Abidin, yang dikenal juga dengan julukan Ali al-Sajjad, adalah doa. Beliau meninggalkan pusaka dan khazanah doa yang sangat berharga yang dikompilasi dalam kitab berjudul al-Shahifah al-Sajjadiyyah.
Di antara doa yang diwariskan oleh Imam al-Sajjad adalah doa yang beliau ajarkan kepada Abu Hamzah al-Tsumali. Karena itulah doa ini kerap disebut sebagai Doa Abu Hamzah al-Tsumali.
Doa yang sangat panjang ini–butuh waktu sekitar satu jam untuk membacanya–afdalnya dibaca secara rutin pada waktu sahur di bulan Ramadhan. Tapi, di luar waktu itu pun membaca atau mempelajarinya tentu sangat baik.
Nama Abu Hamzah al-Tsumali adalah Tsabit bin Dinar. Beliau hidup pada masa empat orang imam, yaitu al-Sajjad, al-Baqir, al-Shadiq, dan al-Kazhim. Beliau ahli fiqh dan ahli hadis. Al-Shadiq berkata, “Abu Hamzah pada zamannya laksana Salman pada zamannya.”
Di bagian awal doa ini, dikatakan:
إلهي لا تؤدبني بعقوبتك
Ilaahii laa tu’addibnii bi ‘uquubatik.
Artinya, ‘Ya Allah, janganlah Engkau mendidikku dengan hukuman-Mu.”
Ketika mensyarah frasa tersebut, al-Qabanci di dalam kitabnya yang berjudul Fi Rihab Du’a Abi Hamzah al-Tsumali mengatakan bahwa pendidikan dari Allah bagi manusia ada tiga macam: 1) Pendidikan umum bagi seluruh makhluk lewat insting, 2) Pendidikan khusus bagi manusia lewat akal, 3) Pendidikan khusus bagi manusia lewat para nabi.
Frasa tersebut memunculkan pertanyaan aapakah hukuman termasuk instrumen pendidikan?
Hukuman Allah, bahkan neraka Jahanam, adalah alat untuk mendidik. Orang yang abadi di neraka Jahanam adalah orang yang tidak dapat dididik dengan cara lain. Hatinya keras laksana duri yang walau disiram air sekalipun tetap menjadi duri.
Allah menjadikan hukuman sebagai instrumen pendidikan di dunia, bahkan kepada para nabi-Nya sekalipun. Nabi Yunus dihukum dengan hukuman berupa ditelan ikan paus. Hukuman ini adalah didikan agar beliau lebih bersabar dan lembut dalam mendidik umatnya.
Tapi, frasa di awal Doa Abu Hamzah al-Tsumali itu mengajarkan kita untuk memohon kepada Allah agar Dia tidak mendidik kita dengan hukuman, karena kita tidak akan sanggup menanggungnya.
Kita ingin dididik-Nya lewat mengerjakan syariat-Nya dan nasihat orang-orang salih. Kita ingin hati kita menjadi laksana bunga yang jika disirami maka akan semakin wangi.
Sedekah adalah cara Allah mendidik kita untuk hati kita suci dan jiwa kita jernih. Kitalah yang butuh bersedekah demi kepentingan tersebut dan bukannya Islam yang membutuhkan sedekah kita.
Salat juga adalah cara Allah mendidik kita dengan memperkenankan kita untuk mikraj dan mendekat dengan Kesempurnaan-Nya. Di dalam salat kita mendekat dengan Keadilan, Kasih-Sayang, dan Kebahagiaan Yang Mutlak agar kita belajar kepada-Nya dan mendapatkan curahan dari-Nya.
Memiliki teman yang baik, yang dapat mengajari, mengarahkan, dan membimbing kita kepada kebaikan juga merupakan cara Allah mendidik kita. Para nabi tidak mengecualikan dirinya dari usaha mencari penasihat. Musa as berjalan jauh untuk menemui Khidhr dan mendapatkan pengarahan darinya.
Karena pentingnya memiliki penasihat dan memiliki kemampuan untuk mematuhi nasihat, Ali Zainal Abidin di dalam Doa Makarim al-Akhlaq mengajarkan kita untuk memohonnya kepada Allah.
اللهم صل على محمد وآل محمد ووفقني لطاعة من أرشدني ومتابعة من سددني
Alloohumma sholli ‘alaa Muhammad wa aali Muhammad wa waffiqnii li thoo’ati man arsyadanii wa mutaaba’ati man saddadanii.
Artinya, “Ya Allah, curahkanlah salawat kepada Muhammad dan keluarganya dan bimbinglah aku untuk mematuhi orang yang menasihatiku dan mengikuti orang yang mengarahkanku.”
Jangan segan mengulang-ulang meminta nasihat karena hal itu kita butuhkan. Salat, doa, dan membaca Al-Qur’an juga kita lakukan berulang-ulang. Jika seseorang mau mendidik dirinya dengan ibadah dan dia juga memiliki teman yang baik, maka ia telah mendapat rezeki yang sangat besar, bahkan lebih besar daripada jabatan dan harta.
Penulis: H. Ahmad Fadhil, Lc., M.Hum (Dosen Filsafat Islam UIN SMH Banten)