Oleh: Ahmad Fadhil
hipotesa.id – Di sekitar kita ada banyak pahlawan bagi orang-orang yang miskin atau terkena bencana. Mereka bergerak cepat untuk menyumbang baik dari harta mereka sendiri atau mengumpulkan donasi dari publik. Tapi, kita terkadang enggan mengapresiasinya karena orang lain itu bukan kelompok kita. Ketika sebagian orang mengumpulkan donasi bagi rakyat Palestina, misalnya, muncul gugatan mengapa tidak menyumbang untuk sesama rakyat Indonesia saja. Ketika ada seorang selebriti merenovasi gedung sekolah, misalnya, dia dicibir karena dia belum menutup aurat.
Contoh lain, Marcus Rashford, pesepak bola asal Inggris, belakangan ini viral karena dia menjadi orang termuda yang menduduki puncak daftar The Sunday Giving Times karena telah menggalang dana hingga terkumpul 20 juta Poundsterling untuk memenuhi makanan anak-anak dari keluarga miskin. Rashford mengatakan, “Tidak boleh ada anak yang kelaparan di negeri ini.” Di negeri Ratu Elizabeth, kiprah striker belia Manchester United ini mendapat pujian, bahkan dari fans klub rival. Dia dinilai telah membangkitkan kesadaran bangsa dan memaksa pemerintah Inggris untuk memperhatikan isu ketersediaan makanan bagi anak-anak yang rentan.
Layakkah kita ragu untuk mengapresiasi suatu kebajikan hanya karena pelakunya tidak segolongan dan sekeyakinan? Saya khawatir hal ini semakin massif terjadi di negeri kita dikarenakan semakin menguatnya politik identitas belakangan ini. Untuk mengatasi masalah ini, saya akan mengemukakan alasan rasional, yakni alasan yang diutarakan seorang filsuf, yaitu Plato, dan keagamaan yaitu alasan berdasarkan riwayat dari sejarah Rasulullah Saw.
Sedekah Menurut Plato
Umar bin Sahlan al-Sawi di dalam kitab Mukhtashar Shiwan al-Hikmah mengutip perkataan Plato yang menjelaskan bahwa kebaikan akan membuat pelakunya dicintai, apa pun latar belakangnya. Mendermakan harta yang dimiliki adalah salah satu bukti dari kebaikan seseorang. Plato berkata, “Jika seseorang menolak hasrat-hasrat yang rendah dari jiwanya, maka akan tersebar kebaikannya. Jika seseorang telah tersebar kebaikannya, maka akan terpuji. Jika seseorang telah terpuji, maka akan dicintai. Dan jika seseorang telah dicintai oleh sesamanya, maka Allah akan mencintainya.”
Dari buku yang sama, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul The Best Chicken Soul of the Philosophers: Dari Thales Hingga an-Nafis, Plato mengajarkan kita untuk bersimpati kepada orang-orang di sekitar kita yang sedang terjepit kesulitan, apalagi jika berkaitan dengan kebutuhan primer seperti pemenuhan kebutuhan makanan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Hal itu harus dilakukan dengan segera.
Plato berpesan, “Janganlah engkau menunggu untuk melakukan kebaikan sampai diminta oleh orang yang berhak menerimanya. Bersegeralah melakukannya sebelum orang itu memintanya.”
Menurut Plato, seorang pengangguran bukan sekadar orang yang tidak mempunyai pekerjaan atau profesi tertentu. Predikat pengangguran dapat juga disematkan kepada orang yang dapat melakukan kebaikan kepada orang lain, lalu dia tidak melakukannya. Plato juga menegaskan, “Janganlah engkau mengira bahwa menyumbangkan harta untuk hal yang berguna adalah kerugian. Kerugian yang sebenarnya adalah menahan harta itu dari hal yang berguna tersebut.”
Bahkan, Plato berpesan yang senada dengan perintah agama agar kita tidak merusak “pahala sedekah” dengan menyakiti hati penerimanya dengan menyebut-nyebutnya. Plato berkata, “Jangan sampai rasa bangga merasuki dirimu atas kebaikan yang telah engkau lakukan kepada orang-orang yang setara denganmu karena hal itu dapat merusak buah kebaikanmu kepada mereka.”
Selanjutnya, Plato mengajarkan bahwa mengharapkan kebaikan terjadi pada diri orang lain adalah kebaikan yang dapat dilakukan oleh semua orang. Dengan kata lain, jika ada orang dari kelompok yang bukan kelompok kita melakukan kebaikan, lalu dia mendapatkan apresiasi, maka kita selayaknya ikut menghargai, dan bukannya mencela dengan cara mencari dan mengekspos keburukan orang itu yang tidak berkaitan.
Plato ditanya, “Apakah pemberian yang dapat disumbangkan oleh setiap orang?” Dia menjawab, “Merasa senang jika kebaikan terjadi pada orang lain.”
Mengapresiasi Sedekah Non Muslim
Padahal, teladan dari Nabi Muhammad Saw tidaklah demikian. Kebajikan beliau tertuju pada semua orang tanpa pandang bulu. Pujian beliau juga diberikan kepada pelaku kebajikan apa pun latar belakangnya.
Berkaitan dengan hal ini, ada sebuah riwayat tentang peristiwa pada masa Nabi Muhammad Saw yang layak kita renungi. Alkisah (Fi Rihab Du’a Hamzah al-Tsumali, h. 69) seorang Yahudi menemui Rasulullah Saw, lalu dia menyamarkan kutukannya dalam ucapan salam dengan mengucapkan: as-saamm ‘alaykum–racun untukmu. Dia tidak mengucapkan: as-salaamu ‘alaykum–damai untukmu. Rasulullah Saw menjawab: Wa ‘alaykum–Itu untukmu.
Para sahabat yang ada di sekitar Rasulullah Saw mengatakan, “Wahai Nabi, orang itu mendoakanmu terkena racun yang mematikan.” Beliau menjawab, “Begitu juga jawabanku untuknya. Dia akan dipatuk ular hingga mati.” Keesokan hari para sahabat mendapati orang yang mengutuk Rasulullah Saw itu masih hidup. Mereka heran karena mereka tahu bahwa Rasulullah Saw tidak akan berbohong dan kata-katanya tidak akan salah karena semua kata-kata beliau berasal dari Wahyu. Tapi, mereka memberanikan diri untuk bertanya, “Wahai Rasulullah, orang itu masih hidup.”
Rasulullah Saw bersabda, “Wahai Yahudi, lemparkan ke tanah ikatan kayu bakar yang engkau pikul itu. Kita lihat ada apa di dalamnya.” Orang itu membuka ikatan kayu bakarnya dan ternyata ada ular hitam yang menggigit sepotong kayu bakar dan tersedak olehnya. Rasulullah Saw punbersabda, “Sebenarnya orang Yahudi ini telah ditakdirkan akan dipatuk oleh ular ini.” Lalu, beliau bertanya kepada orang itu, “Apa yang telah engkau lakukan kemarin sehingga ular itu tidak mematukmu?”
Setelah momen itu, di dalam riwayat terbaca bahwa sebelum orang Yahudi itu menyebutkan bahwa dia telah bersedekah separuh makanan yang ada di tangannya pada orang miskin, dia mengganti panggilannya kepada Rasulullah Saw. Dia berkata, “Wahai Nabi, kemarin aku punya dua kue. Satu aku makan, satu lagi kuberikan kepada seorang miskin di pinggir jalan.” Rasulullah Saw pun bersabda, “Sedekah itu dapat mencegah terjadinya kematian yang tidak terpuji.”
Dari kisah ini dapat dipetik pelajaran bahwa kalau kita hendak membalas keburukan seseorang, maka haruslah dengan balasan yang setimpal, tidak boleh lebih. Kalau kita mampu memaafkan, itu lebih baik. Ada banyak kisah yang menerangkan bahwa Rasulullah Saw memaafkan perlakuan zalim orang lain terhadap dirinya.
Pelajaran lain, yang berkaitan dengan topik tulisan ini, jika seseorang sudah melakukan kebaikan, sekalipun dia tidak seakidah dengan kita, maka kita harus mengapresiasinya. Kita harus mengakui bahwa Tuhan menerima kebaikannya dan membalasnya dengan kebaikan juga.
Penulis: H. Ahmad Fadhil, Lc., M.Hum
(Dosen Filsafat Islam UIN SMH Banten)