hipotesa.id – Meningkatnya Kasus Covid-19 dalam satu bulan terakhir, mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Masyarakat (PPKM) Darurat.
Pemberlakuan kebijakan di 122 kabupaten/kota di Jawa dan Bali itu, dilaksanakan mulai dari tanggal 3 sampai dengan 20 Juli 2021.
Salah satu ketentuan dalam aturan tersebut, ditutupnya seluruh tempat ibadah, diantaranya masjid.
hipotesa.id mencoba merangkum dalil hadist yang membolehkan penutupan masjid dalam kondisi wabah.
Seperti dilansir dari laman muslim.or.id penutupan masjid dalam kondisi wabah pernah dilakukan pada masa Rasulullah SAW.
Sebagaimana dalam Hadits Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطَّاعُونُ آيَةُ الرِّجْزِ ابْتَلَى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهِ نَاسًا مِنْ عِبَادِهِ فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَفِرُّوا مِنْهُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tha’un (wabah penyakit menular) adalah suatu peringatan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menguji hamba-hamba-Nya dari kalangan manusia. Maka apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari daripadanya.” (HR Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid).
Secara tersurat makna yang terkandung dari hadis tersebut ialah berupa larangan untuk mendatangi sebuah tempat yang terjangkit wabah, juga larangan untuk meninggal daerah terjangkit wabah.
Secara tersirat, larangan mendatangi dan mendatangi daerah terjangkit wabah sebagai upaya mencegah penyebaran wabah yang disebabkan oleh aktifitas manusia.
Saat ini, Covid-19 bisa terjangkit melalui kerumunan manusia. Shalat berjama’ah di masjid termasuk sebagai aktifitas kerumunan. Oleh karenya, larangan shalat berjama’ah yang berujung pada penutupan masjid, sama hal nya dengan larangan mendatangi dan meninggalkan daerah wabah.
Nabi SAW telah mewanti-wanti umatnya untuk senantiasa waspada dalam menjaga kesehatan.
Dalam hadist Riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُورِدَنَّ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah yang sakit dicampurbaurkan dengan yang sehat.” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Senada akan hal itu, diriwayatkan dari ‘Amru ibn al-‘Ash radhiallahu ‘anhu, dimana ia pernah memerintahkan masyarakat untuk tinggal berpencar di pegunungan, sehingga mereka masing-masing hidup terpisah dari yang lain hingga Allah mengangkat wabah yang terjadi
أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ هَذَا الْوَجَعَ إِذَا وَقَعَ فَإِنَّمَا يَشْتَعِلُ اشْتِعَالَ النَّارِ، فتجبلوا منه في الجبال
“Wahai masyarakat sekalian, sesungguhnya wabah penyakit ini bila telah melanda, maka akan cepat menyebar bagaikan api yang berkobar-kobar, maka dari itu hendaknya kalian pergi ke gunung gunung.”
Selain itu, berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia MUI No 14 Tahun 2020 disebutkan dalam kondisi penyebaran Covid-19 tidak terkendali di suatu kawasan yang mengancam jiwa, umat Islam tidak boleh menyelenggarakan salat jumat di kawasan tersebut, sampai keadaan menjadi normal kembali dan wajib menggantikannya dengan salat zuhur di tempat masing-masing.
Disebutkan juga, dalam kondisi penyebaran Covid-19 tidak terkendali di suatu kawasan yang mengancam jiwa, tidak boleh menyelenggarakan aktivitas ibadah yang melibatkan orang banyak dan diyakini dapat menjadi media penyebaran Covid-19, seperti jamaah salat lima waktu/ rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim.
Oleh: Moch Hidayat
Ilustrator: Bd Chandra
Sumber :