Oleh: Hamdan Suhaemi
Ragas
Ragas merupakan nama kampung yang terletak di desa Purwodadi, Kecamatan Lebak Wangi Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Penduduknya kurang lebih 1.500 jiwa. Kampung Ragas identik dengan sebutan masyarakat Ragas, yang memiliki otentifikasi adat, bahasa dan budayanya sendiri. Secara sosio-kultur cenderung berbeda dengan masyarakat yang menempati kampung-kampung tetangganya yang masih masuk dalam Desa Purwodadi.
Masyarakat Ragas, dikenal di manapun memiliki kekhasan dalam berbicara, hampir sama dengan masyarakat kampung Puyuh Koneng di Desa Kencana Harapan, dialek Sunda yang beda dengan masyarakat Sunda lainnya seperti Sunda di Pandeglang dan Lebak. Secara hipotesis Ragas ini bisa jadi migrasi dari Banten Girang yang dulu ditaklukan oleh Kanjeng Maulana Hasanuddin alias Pangeran Sabakingkin putera Syaikh Syarif Hidayatullah Cirebon atau Sunan Gunung Jati di tahun 1526 M. Kenapa ada tesis seperti itu, apakah sudah ada penelitian sebelumnya terkait migrasinya dari Banten Girang, untuk sementara masih dugaan, bukan kepastian sesuai fakta sejarah.
Karena itulah Ragas ini disebut salah satu Kampung Tua yang ada di wilayah Banten. Sebab sejak abad 16 M, kampung ini ternyata didapati banyak jejak-jejak sejarah di awal-awal penyebaran Islam di Banten, dan menunjukan kampung ini sudah dihuni oleh beberapa orang. Fakta kuburan tua Nyi Mas Panca Inten di sebelah selatan kampung Ragas memberi petunjuk ke kita, bahwa ternyata Ragas sudah ada penghuni sejak abad 16 silam.
Adat Paprahan
Paprahan, adalah salah satu kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Ragas yakni berkumpul “ngeriung” di sudut-sudut jalan dan di sepanjang jalan kampung dengan menyuguhkan tumpeng nasi kuning, lauk pauk, aneka kue tujuh warna dan air yang ditampung di ember, atau botol-botol minuman. Makanan dan air tersebut diletakkan di tengah-tengah yang duduk berjajar sepanjang jalan, dengan diawali bacaan hadarat atas Kanjeng Nabi Muhammad S.A.W, hadarat kepada para Nabi dan Rasul, hadarat kepada para waliyullah, ulama. Hingga kemudian salah satu tetua tokoh agama tersebut memimpin baca ayat kursi (surat Al-Baqarah), surat Al-Ikhlas, surat al-Falaq dan surat al-Nas, bahkan seringnya baca surat Yasin. Setelah usai hadarat dan baca ayat-ayat Al-Qur’an tersebut disertai doa tolak bala, maka sang ketua kampung membacakan Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani atau sering dikenal “maca syekh”.
Makanan yang sudah dibacakan hadarat dan ayat-ayat Al-Qur’an dan manaqib kemudian digantungkan di depan rumahnya masing-masing, sementara air yang sudah dibacakan manaqib itu disiram-siramkan di sekeliling rumah masing-masing. Hingga di sudut-sudut jalan, dan di sekeliling kampung.
Adat Paprahan, ini dilakukan setiap menghadapi wabah atau pageblug, dan atau rutin dilaksanakan setiap bulan Suro atau Muharram di tanggal 10 (‘asyuro) setiap tahun. Ini ditradisikan dilaksanakan 3 kali baik di bulan Muharram maupun di bulan Safar. Serta sifatnya temporer jika tengah menghadapi musibah, atau wabah pageblug. Tradisi adat ini sudah berlangsung sejak dulu, dan telah menjadi warisan dari para leluhur kampung Ragas.
Pandangan Terkait Adat
Soerjono Soekanto, telah menjelaskan bahwa adat istiadat merupakan suatu sistem pandangan hidup yang kekal, segar serta aktual oleh karena didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang terdapat pada alam yang nyata dan juga pada nilai positif, teladan baik serta keadaan yang berkembang. Kebersamaan dalam arti, seseorang untuk kepentingan bersama dan kepentingan bersama untuk seseorang. Kemakmuran yang merata. Pertimbangan pertentangan yakni pertentangan dihadapi secara nyata dengan mufakat berdasarkan alur dan kepatutan. Meletakan sesuatu pada tempatnya dan menempuh jalan tengah.
Menyesuaikan diri dengan kenyataan. Segala sesuatunya berguna menurut tempat, waktu dan keadaan.
Menurut Koen Cakraningrat, bahwa adat ialah suatu bentuk perwujudan dari kebudayaan, kemudian adat digambarkan sebagai tata kelakuan. Adat merupakan sebuah norma atau aturan yang tidak tertulis, akan tetapi keberadaannya sangat kuat dan mengikat sehingga siapa saja yang melanggarnya akan dikenakan sangsi yang cukup keras.
Relevansi Adat Tolak Bala
Jika Paprahan ini adalah adat yang berisi do’a-do’a tolak bala, tentunya ada baiknya dipertimbangkan untuk kemudian dijadikan cara dalam upaya kita (ijtihad pencegahan) mencegah dan menghilangkan Covid-19, karena covid adalah termasuk pageblug, atau wabah virus.
Atau barangkali ada banyak adat istiadat yang diwariskan dari para leluhur kita dalam upayanya menangkal musibah, wabah dan malapetaka, maka dipersilahkan untuk dilakukan sebagai salah satu ikhtiar kita. Tentu tidak salah jika isinya kebaikan, isinya dzikir, istigfar dan doa diteruskan sebagai cara kita menghadapi wabah Corona ini.
Semua perlu ikhtiar, bukan hanya negara saja yang dibebankan atas wabah ini, tapi kita juga harus terus menerus berupaya sekuat tenaga agar diri kita, keluarga kita dan seluruh umat manusia selamat dari ganasnya Corona virus ini.
Kesimpulan
Paprahan adalah adat, tapi berisi doa bersama. Ajaran Islam yakni doa tolak bala (Li daf’i al-Bala’) telah mengisi dalam adat Paprahan tersebut. Dengan demikian jangan lantas divonis sebagai perbuatan syirik, bersifat tahayyul atau dibilang khurafat. Bahkan ini disebut “bidngah” dlalalah (sesat). Padahal tidak sama sekali bertentangan dengan syari’at Islam.
Paprahan, perlu dilakukan sebagai ikhtiar menghadapi wabah sekaligus cara kita menolak bala.
Tentang penulis: Hamdan Suhaemi, merupakan Wakil Ketua PW GP Ansor Banten dan Ketua PW Rijalul Ansor Banten