hipotesa.id – Pemerintah Indonesia bersikukuh tetap mempertahankan ganja sebagai Narkotika golongan I, yang pemanfaatannya amat ketat dan terbatas, hanya untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dengan begitu, penggunaan tumbuhan yang punya nama latin Cannabis Sativa ini, sekalipun untuk pengobatan maupun terapi, termasuk sebagai penyalahgunaan Narkotika.
Kuasa Hukum Presiden atau Pemerintah, Ariani, merilis penyalahgunaan Narkotika di dunia, termasuk Indonesia mengalami peningkatan. Pada tahun 2019 angka penyalahgunaan Narkotika, mencapai 240 dari 10 ribu penduduk Indonesia, berumur 15 sampai 64 tahun terpapar pernah memakai narkoba.
Data tersebut mengacu pada catatan Badan Narkotika Nasional (BNN) yang bekerjasama dengan Pusat Penelitian Budaya dan Masyarakat LIPI.
“Atau 180 dari 10 ribu penduduk Indonesia 1,8% setara dengan 3 juta 419.188 juta jiwa berumur 15 sampai 64 tahun terpapar memakai narkoba selama satu tahun terakhir” papar Ariani dalam sidang perkara Nomor 106/PUU-XVIII/2020 terkait permohonan uji materiil UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap UUD 1945 yang dihelat virtual lewat kanal YouTube Mahkamah Konstitusi. Selasa(10/8/2021).
Menurut Ariani, jenis narkoba yang paling banyak dikonsumsi adalah ganja. Totalnya mencapai 65,% diikuti oleh sabu sebanyak 38% dan ekstasi sebanyak 18%. Untuk penyalah gunakan lebih dari satu jenis narkoba atau multiple drugs mencapai 43%.
“Kasus Narkotika jenis ganja pada Maret 2020 terdapat 3.555 jumlah kasus, dengan data jumlah sitaan barang bukti daun ganja sebesar 11472 172, 82 gram dan pohon ganja sebesar 350 ribu 868 batang, luas area ganja 12 hektare, biji ganja 31,17 gram dan hasil 552,45 gram,” paparnya.
Sehingga, Pemerintah Indonesia akan terus memberikan perhatian khusus pada penyalahgunaan Narkotika, Psikotoprika dan zat adiktif lainnya. Meski demikian, Ia mengklaim tanpa mengabaikan manfaat yang bisa didapat guna keperluan kedokteran dan ilmu pengetahuan.
Ganja dilarang untuk kepentingan pelayanan medis dalam uraiannya, pemerintah mengakui bahwa Narkotika bisa dimanfaatkan bagi bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan maupun pengembangan ilmu pengetahuan.
Namun efek yang ditimbulkan Narkotika berupa penurunan, atau perubahan kesadaran, hilang atau berkurangnya rasa nyeri hingga bisa menimbulkan ketergantungan.
Dikatakan Ariani, ketergantungan Narkotika akan selalu ditandai oleh dorongan penambahan dosis yang apabila penggunaanya dikurangi atau dihentikan tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis seperti rasa sakit atau lelah luar biasa.
“Bahaya efek yang ditimbulkan oleh pengguna Narkotika, hingga menimbulkan ketergantungan sangat merugikan dan membahayakan kesehatan bagi perorangan atau masyarakat khususnya generasi muda,” katanya.
Menurut Pasal 6 ayat (1) UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, ganja termasuk kedalam Narkotika golongan I yang punya potensi sangat tinggi dalam mengakibatkan ketergantungan pemakainya. Sehingga, untuk saat ini penggunaan Narkotika untuk keperluan medis hanya berlaku bagi Narkotika golongan II dan III.
Larangan penggunaan ganja sebagai pengobatan atau terapi, salah satunya dilatarbelakangi luasnya geografis wilayah Indonesia.
“Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari kurang lebih 17 ribu pulau dengan populasi mencapai 270 penduduk. Kondisi ini menyulitkan upaya pengawasan terhadap penyalahgunaan zat yang diawasi” katanya.
Selain itu, pemerintah menilai, hingga saat ini di Indonesia belum ada bukti klinik atas pemanfaatan ganja untuk tujuan medis. Hasil sintetis dari senyawa yang terdapat di ganja, dianggap belum didukung oleh hasil uji pengembangan obat yang baik.
“Dengan demikian kalangan medis tidak menggunakan ganja dan produk turunannya pada saat ini,” ujarnya.
Padahal, Amerika telah menggunakan salah satu kandungan ganja, yakni cannabidiol untuk memberikan efek anti epilepsi dan sudah di approve oleh FBI sejak (28/6/2018) dengan nama Epidiolex. “Di Indonesia terdapat Drug of Choice epilepsi yaitu Asam Valproat, dsb,” ujarnya.
Tanaman ganja yang dapat digunakan untuk keperluan medis adalah tanaman ganja yang telah dilakukan rekayasa genetik sehingga kadar Cannavidiol (CBD) yang terkandung didalamnya lebih besar dibanding tetrahydrocannabinol (THC).
“Jenis Cannabis yang tumbuh di Indonesia, bukanlah jenis Cannabis yang dapat digunakan untuk pengobatan, karena kandungan THC nya jauh lebih besar dari CBD nya,” kata Ariani.
Pemerintah mengklaim, tanaman ganja di Indonesia punya efek merugikan jauh lebih besar dibanding manfaatnya. “Penggunaan ganja memiliki kecenderungan digunakan untuk kebutuhan rekreasi ketimbang medis,” ujarnya.
Hal itu menurut pemerintah bisa dilihat dari tingginya kasus sitaan ganja. Sehingga, jika dilegalisasi akan menimbulkan berbagai macam permasalahan.
Pemerintah minta majelis hakim MK tolak permohonan pemohon, menyoal judisial review UU Narkotika terhadap UUD 1945.
Pemerintah konsisten bahwa ganja beserta produk turunannya tetap berada dalam daftar bahan yang dilarang untuk digunakan.
Pemanfaatan ganja untuk mengobati penyakit tertentu, menurut pemerintah merupakan reaksi yang bersifat sementara atau jangka pendek.
“Para pemohon tidak melihat efek atau resiko yang dapat ditimbulkan dalam jangka panjang apabila digunakan secara terus menerus tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat. Sehingga manfaat yang didapat tidak sebanding dengan resiko yang ditimbulkan,” katanya.
Menurutnya, para pemohon masih diberikan kesempatan atau alternatif pengobatan yang aman dengan kebutuhan sebagaimana yang dilegalkan undang-undang maupun Ilmu Kesehatan.
“Pemerintah berpendapat tidak terdapat kerugian yang konstitusional, yang dialami oleh para pemohon. Sehingga pemerintah memandang tidaklah tepat jika hal tersebut dijadikan alasan judisial review di Mahkamah Konstitusi,” katanya.
Namun, para pemohon dapat memberikan masukan atau data kepada pemerintah, baik kepada BNN, BPOM, maupun kepada Kementrian Kesehatan terkait adanya penelitian atau penggunaan Narkotika yang dapat dipertanggung jawabkan untuk diterapkan di Indonesia.
Dalil yang diajukan para pemohon, dinilai pemerintah tidak jelas dan kabur dimana, dalil yang diuraikan pemohon atau dicontohkan sebagai pemakai ganja, sedangkan dalam petitum atau tuntutan para pemohon adalah Narkotika golongan I.
Menurut pemerintah, hal itu bermakna keseluruhan dari jenis Narkotika di dalam golongan I yang ingin diperbolehkan pemakaiannya, baik dalam kesehatan, terapi, dan ilmu pengetahuan serta teknologi.
“Tidak ada pertentangan antara Pasal 28 C ayat (1) dan Pasal 28 H ayat (1) karena para pemohon masih dapat memperoleh pelayanan kesehatan secara legal,” katanya.
Dalam petitum atau tuntutan yang disampaikan kepada Majelis Hakim MK, pemerintah meminta agar Majelis Hakim MK, menerima keterangan presiden secara keseluruhan. “Menyatakan bahwa para pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum atau legal standing,” tegasnya.
Selain itu, pemerintah juga menolak permohonan pengujian para pemohon seluruhnya, atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian para pemohon tidak dapat diterima.
“Menyatakan kedudukan Pasal 6 ayat (1) huruf A, dan Pasal 8 ayat (1) huruf A UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, tidak bertentangan dengan pasal 29 C ayat (1) dan pasal 28 H ayat (1) UUD 1945,” pungkasnya.
Reporter: Bd Chandra