Diogenes seorang filsuf asal Sinope yang terkenal dengan julukan al-Kalbi, Doggish, atau dalam bahasa Indonesia, bisa juga disebut Anjingisme. Ia hidup sangat asketis sekali, saking asketisnya rumah pun ia tak punya, malah ia memilih hidup di tong besar di sebuah pasar. Karena hidupnya yang tidak biasa, maka tidak sedikit juga yang menghinanya.
Suatu hari, Diogenes dihina oleh seseorang yang berkepala botak, kemudian Diogenes berkata, “Wahai Tuan, aku tidak akan membalas hinaamu. Aku hanya merasa senang bahwa rambutmu telah kabur meninggalkan kepala yang jelek, tengkorak yang kosong, dan otak yang rusak.”
Diogenes sebagai penghulu Mazhab Anjingisme atau juga dikenal sinisisme membalas cacian memang terkadang perlu untuk membalas hinaan sebab mereka yang menghina juga terkadang menghina tanpa alasan, mereka menghina tanpa mengerti kenapa mesti menghina dan tanpa mengerti kenapa objek itu dihina.
Pada kesempatan lain, ada seseorang juga yang mencaci Diogenes. Tapi begitulah Diogenes, ia tetap santai. Kali ini ia berkata, “Dengan begitu, sempurnalah kejelekannya: dia mencaci tapi tidak dicaci.”
Terkadang juga, Diogenes tidak membalas hinaan-hinaan yang datang menghujaninya. Ia diam. Sebab dengan diam, orang yang menghina akan semakin terhina dan menyempurnakan kehinaannya sendiri.
Sikap Diogenes sebagai orang yang memiliki pandangan hidup yang kuat, mau hujan hinaan atau badai cacian sekalipun, ia tetap pada pendiriannya. Sampai pada satu waktu, Alexander The Great, Sang Penakluk itu mendatanginya dan bertanya kepadanya, “Apa sebenarnya yang engkau kehendaki?” Kemudian Diogenes si Anjing ini menjawab, “Pergilah, jangan menghalangi cahaya matahari menyinariku!”
Hal tersebut menunjukkan bahwa Diogenes tetap berdiri tegak dalam pendiriannya sekalipun Sang Penakluk dari Macedonia itu mempertanyakan dirinya. Malah ia berkata bahwa kekuasaan akan menjadi penghalang sinar kebijaksanaan yang menyinarinya.
Tak aneh, Diogenes dijuluki “Si Anjing” memang bukan tanpa sebab. Ia dijuluki itu karena ia sangat berani dalam menyatakan pandangannya bak seekor anjing yang menyalak. Sekalipun ia mengagumi Socrates, namun ia tidak menerima gaya santun Socrates. Platon sendiri memberinya julukan sebagai “Sokrates yang Pemarah”.
Di kehidupan yang seperti hutan belantara ini, terkadang kita hewan yang hidup di dalamnya terkadang perlu meneladani Diogenes Sang Penghulu Anjingisme tetap tegak dalam pendirian sekalipun dihina. Namun saat dihina, bukan hanya diam, namun kita juga perlu sekali-kali untuk menjawab.
Sebagaimana kata Penyair Rois Renaldi, ia bersenandung,
“Dalam kehidupan yang kadung lacur ini,
aku harus pandai berkata-kata, harus banyak bicara!
Karena bisu berarti menyerah kepada
desas-desus dari omongan ke omongan tanpa kejujuran.
Tetapi kadang-kadang aku diam juga,
jika aku seperti tersesat di antara sekumpulan monyet
atau ketika aku merasa berada di kandang domba,
di mana biji-biji tai terselip di bulu-bulu tebal.”
Kang Muhaimin (Direktur Eksekutif Sekolah Filsafat Averroes)