Nama Syekh Asnawi Caringin mungkin tidak asing lagi untuk masyarakat Banten dan daerah sekitarnya, ia adalah sosok ulama kharismatik yang lahir pada tahun 1850 M. Berbicara dakwah islam di Banten, tidak bisa lepas dari sosok besar Syekh Asnawi Caringin yang merupakan putera dari sosok ulama yang kharismatik sekaligus seorang qadhi (penghulu) di Kesultanan Banten, Syekh Abdurrahman dengan pasangan Nyai Hj. Ratu Sabi’ah seorang perempuan tangguh salah satu keturunan Kesultanan Banten.
Keluarga adalah madrasah pertama bagi seorang anak, begitu pun Syekh Asnawi Caringin, awal ia menjelajahi tapak intelektual bermula dari kedua orang tuanya yang tekun, telaten, dan gigih dalam mendidiknya. Syekh Asnawi Caringin memang dipersiapkan oleh kedua orang tuanya agar menjadi sosok yang bermanfaat dan mampu melanjutkan estafeta dakwah untuk membimbing masyarakat.
Tak heran, dengan didikan dari kedua orang tuanya yang tulus dan kecerdasannya, Syekh Asnawi kecil mampu menghafal al-Qur’an dan menguasai berbagai fan ilmu Islam. Ia semenjak kecil memang sudah terlihat memiliki berbagai keistimewaan dan kelebihan yang tidak dimiliki kawan sebayanya.
Syekh Asnawi kecil sangat dicintai dan dihargai banyak orang mulai dari teman sebaya sampai yang lebih tua. Tak lain, sebab memang ia adalah orang yang paling asyik untuk menjadi teman, adik, kakak, ataupun menjadi seorang anak. , Syekh Asnawi sangat cepat berkawan dan bersaudara dengan akhlaknya yang baik, cepat akrab, ramah, murah senyum, dan ia tak segan untuk menjadi gong pertama dalam sebuah obrolan.
Beranjak remaja, Syekh Asnawi kecil yang selalu belajar dari ayahnya, namun pada kala itu, ayahnya sekaligus gurunya yang disegani dan disayanginya harus meninggalkkanya dan kembali kepada Sang Pencipta dengan segala keridaan. Semenjak itu, Ibunda Syekh Asnawi, Nyai Ratu Sabi’ah menjadi sosok ibu sekaligus ayah untuk anaknya.
Segenap kesabaran diiringi tawakkal, Ibunda Syekh Asnawi menggantikan posisi ayah yang mendidiknya, akan tetapi lambat laun ibundanya khawatir dengan kecerdasan yang dimiliki Syekh Asnawi akan kurang maksimal apabila terus begitu. Saat usia Syekh Asnawi memasuki dua belas tahun, Ibundanya setelah musyawarah bersama keluarganya akhirnya memutuskan Syekh Asnawi dikirim ke tempat terbitnya Islam, Kota Suci Makkah, guna menimba ilmu dari para ulama-ulama besar.
Di Kota Suci, Syekh Asnawi mencerap berbagai ilmu dari para pembesar-pembesar ulama di Mekkah seperti Syekh Nawawi al-Bantani salah sosok ulama besar yang karyanya menembus batas ruang dan waktu, kemudian ia juga belajar kepada Syekh Hasbullah al-A’ma. Selain itu, ia juga menggali ilmu al-Qur’an dan tafsir secara khusus kepada Syekh Abdul Hamid al-Makki.
Sementara untuk ilmu tasawuf, Syekh Asnawi menimba dari Syekh Ahmad Khatib Al-Sambasyi sosok mursyid yang masyhur di dunia pertapaan tasawuf. Namun, saat itu, Syekh Ahmad Khatib al-Sambasyi sudah lanjut usia, sang mursyid pun meninggal dunia, dan jubah mursyidnya diberikan kepada ulama asal Banten juga, Syekh Abdul Karim al-Bantani. Dengan begitu, kepada Syekh Abdul Karim lah, Syekh Asnawi melanjutkan penimbaan ilmunya.
Dalam tiga tahun, Syekh Asnawi menggali ilmu pengetahuan di Kota Suci. Pada saat usianya masih terbilang remaja, usia 15 tahun, Syekh Asnawi sudah mendapat titah untuk kembali ke Jawa dan menyebarkan ilmunya, tepatnya pada tahun 1865 M. Ini menandakan kecerdasan Syekh Asnawi dan kegigihannya untuk menguasai apa yang diajarkan oleh gurunya adalah hal yang luar biasa sehingga ia mendapat buah keagungan dari kegigihannya sebagaimana syair dalam Ta’lim al-Muta’allim, “bijiddin la bijaddin kullu majdi fahal jaddun bila jiddin bimujdi” yang artinya, “sebab kegigihan bukan keturunan, sebuah keagungan akan diraih. Apakah sebab keturunanmu tanpa kegigihanmu sebuah keagungan bisa diraih?”
Sewaktu ia kembali ke kampung halamannya, keagungan yang ia miliki tak meadamkan kobaran api semangat belajar Syekh Asnawi dalam mengkaji ilmu tasawuf sehingga ia sering berdiskusi dengan Syekh Sohib Kadu Pinang Batu Bantar yang ia anggap sebagai seorang kakak sekaligus guru.
Pada tahun 1870 M, saat usia Syekh Asnawi genap 20 tahun, ia menemukan pasangan hidup yang siap menemani dalam segala rintang kehidupan, yakni Nyai Ratu Halimah. Syekh Asnawi pun memutuskan untuk menikahinya. Nyai Ratu Halimah sendiri adalah sosok perempuan yang ia cintai dan ia cari. ia merupakan putri dari Patih Rasinah salah seorang Pejabat Daerah di Caringin.
Nyai Ratu Halimah sendiri adalah gambaran atau teladan seorang istri yang sabar dan selalu mendukung suaminya dalam laku kehidupan. Menjadi istri dari seorang ulama sekaligus pejuang seperti Syekh Asnawi Caringin tidak lah mudah, karna menjadi istri seorang pejuang memiliki tapak terjalnya sendiri dan lika-liku perjalanan yang harus siap melepas dan ditinggalkan untuk berjuang melawan kebodohan dan penjajahan pada waktu itu.
Satu waktu, Syekh Asnawi dengan kobaran api kegigihannya yang membara dalam menapaki tangga-tangga spiritual, maka ia memutuskan untuk beruzlah mengasingkan diri selama dua tahun di suatu tempat atas persetujuan istri yang penuh keikhlasan saat melepasnya. Di sini, terbayang bagaimana keikhlasan dan kesabaran seorang Nyai Ratu Halimah selama dua tahun ditinggalkan suami untuk melatih diri dan menapaki jalan ilahi itu.
Seusai dua tahun masa uzlah Syekh Asnawi Caringin, akhirnya ia pun turun kembali dalam gelanggang manusia untuk berdakwah dan menyebarkan keagungan ajaran Islam. Dengan jalan Tarekat Qodiriyah wa al-Naqsabandiyyah yang Syekh Asnawi tapaki, ia mengajarkan keindahan dan keagungan Islam. Sebagai Mursyid yang dibaiat langsung oleh gurunya yang merupakan mursyid besar yakni Syekh Abdul Karim al-Bantan, ia mengajarkan tarekat tersebut kepada masyarakat sehingga masyarakat dari berbagai daerah, masyarakat berbondong-bondong untuk menimba ilmu darinya.
Dengan ilmu dan akhlaknya, Syekh Asnawi menjadi caringin (beringin) bagi masyarakat, sebagaimana beringin yang rindang, ia meneduhkan manusia-manusia yang kelelahan dan kehausan akan kebijaksanaan. Dari perjalanannya, Syekh Asnawi Caringin merupakan teladan sepanjang zaman.