Oleh: Anton Purwanto
hipotesa.id – Desa menjadi arena politik paling dekat bagi relasi antara masyarakat dengan pemegang kekuasaan (perangkat desa). Di satu sisi, para perangkat desa menjadi bagian dari birokrasi negara yang mempunyai daftar tugas kenegaraan, yakni menjalankan birokrasi di level desa, melaksanakan program-program pembangunan, memberikan pelayanan administratif kepada masyarakat.
Tugas penting pemerintah desa adalah memberi pelayanan administratif (surat-menyurat) kepada masyarakat. Di sisi lain, karena dekatnya arena, secara normatif masyarakat akar rumput sebenarnya bisa menyentuh langsung serta berpartisipasi dalam proses pemerintahan dan pembangunan di tingkat desa.
Para perangkat desa selalu dikonstruksikan sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. Para pamong desa beserta elite desa lainnya yang dituakan, ditokohkan dan dipercaya oleh masyarakat untuk mengelola kehidupan publik maupun privasi warga Desa. Dalam praktiknya antara masyarakat dan pamong desa mempunyai hubungan kedekatan secara personal yang mungkin diikat dengan tali kekerabatan maupun ketetanggaan, sehingga kedua unsur itu saling menyentuh secara personal dalam wilayah yang lebih privat ketimbang publik. Namun batas-batas urusan publik dan privasi di desa sering kali kabur bahkan bercampur baur.
Jika pemerintah desa menjadi sentrum kekuasaan politik, maka Kepala Desa (Kades) merupakan personifikasi dan representasi pemerintah desa. Semua perhatian di desa ditujukan kepada Kepala Desa. Kepala Desa harus mengetahui semua hajat hidup orang banyak, sekalipun hanya selembar daun yang jatuh dari pohon. Karena itu kepala Desa selalu sensitif terhadap legitimasi di mata masyarakatnya.
Legitimasi berarti pengakuan masyarakat terhadap kekuasaan dan kewenangan Kepala Desa untuk bertindak mengatur, mengarahkan dan memberdayakan masyarakat. Kepala Desa yang terpilih secara demokratis belum tentu memperoleh legitimasi terus menerus ketika menjadi pemimpin di desanya.
Legitimasi mempunyai asal usul dan sumbernya, legitimasi kepala Desa bersumber pada ucapan yang disampaikan, nilai-nilai yang diakui, serta tindakan yang diperbuat. Umumnya Kepala Desa yakin bahwa pengakuan masyarakat sangat dibutuhkan untuk membangun eksistensi dan menopang kelancaran kebijakan maupun tugas-tugas yang diemban, meski setiap kepala Desa mempunyai ukuran dan gaya yang berbeda-beda dalam membangun legitimasi.
Tetapi, Kepala Desa umumnya membangun legitimasi dengan cara-cara yang sangat personal ketimbang institusional. Kepala Desa dengan gampang diterima secara baik oleh masyarakat bila ringan tangan membantu dan menghadiri acara-acara privat masyarakat, pemurah hati, ramah terhadap masyarakatnya, dan lain-lain.
Tidak sedikit Kepala Desa yang menumpang legitimasi pada program-program pemerintah yang memang sengaja dibranding bahkan didoktrin kepada masyarakat, bahwa program-program tersebut adalah hasil jerih payah pribadi kepala Desa. Padahal program-program tersebut dicanangkan, terukur dan ketentuan yang diterapkan secara rutin atau insidentil sesuai aturan yang berlaku dengan menggunakan anggaran negara.
Bahwa desa adalah sebuah institusi pemerintah yang merupakan perpanjangan tangan dari organisasi pemerintah diatasnya, namun disisi lain desa sesungguhnya merupakan organ pemerintahan yang diberikan otonomi yang cukup luas, adanya kewenangan desa terhadap urusan yang terkait dengan hak asal-usul desa, mengelola potensi sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA) sendiri, serta urusan lainnya yang berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Demikian tulisan yang dapat disampaikan semata-mata demi terwujudnya demokrasi dan pemerintahan lokal yang berintegritas dalam menjalankan otonomi secara luas dan baik. ***
Tentang penulis: Anton Purwanto merupakan Koordinator Daerah Jaringan Rakyat untuk Demokrasi dan Pemilu (JRDP) Kabupaten Pandeglang