One Day One Inspirition, hipotesa.id,- Kalau berbicara pahlawan perempuan, mungkin kebanyakan orang akan menyebutkan R.A Kartini. Padahal selain Kartini, banyak sekali pahlawan perempuan yang sepak terjangnya dalam memperjuangkan emansipasi perempuan juga luar biasa. Sebut saja, Rohana Kudus seorang tokoh perempuan asal tanah melayu, Minangkabau.
Rohana Kudus, perempuan yang dilahirkan dari pasangan Mohamad Arasjad Muharadja dan Kiam pada tanggal 20 Desember 1884 itu telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo pada 6 November 2019 lalu.
Berbicara sosok Rohana Kudus tidak bisa dilepaskan dari gambaran perempuan yang berani menyuarakan dan menabur benih ‘pembebasan’ bagi perempuan. Hal tersebut bisa dilihat dalam kegencaraanya melakukan kampanye dan kegiatan pemberdayaan perempuan terhadap perempuan di tempat ia tinggal.
Pergerakan Rohana Kudus sendiri didorong dari rasa keprihatinnya melihat perempuan yang tidak ada tempat untuk pemberdayaan, hak atas diri perempuan, dan tidak tersedianya akses dalam bidang pendidikan.
Daerah Minangkabau pada masa Rohana Kudus sebagaimana daerah lainnya, masih kental dengan budaya patrialis yang masih memperlakukan perempuan dengan tidak semestinya dan memperkecil peran perempuan pada saat itu.
Didorong rasa keprihatinan tersebut, pada tanggal 11 Februari 1911, Rohana Kudus mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia sebagai lembaga pendidikan untuk para perempuan di daerah Koto Gadang. Di Kerajinan Amai Setia, Rohana Kudus menjadi guru untuk baca tulis, berhitung, pendidikan akidah dan akhlak, pendidikan rumah tangga, dan keterampilan seperti jahit-menjahit, sulam menyulam, gunting-menggungting.
Di Sekolah Kerajinan Amai Setia ini, murid yang mendaftar dari berbagai lintas umur dan latar belakang. Mulai dari anak-anak, remaja, pemudi, sampai ibu-ibu rumah tangga yang tentunya sudah mendapatkan izin dari keluarga mereka.
Sebab, berbagai latar belakang tersebut, Rohana Kudus akhirnya membagi mereka sesuai dengan kelompok usia mereka. Namun, sekalipun begitu Rohana Kuddus tidak pernah membeda-bedakan murid-muridnya.
Akhirnya, Sekolah Kerajinan Amai Setia berkembang mejadi model pendidikan perempuan yang luar biasa sampai mendapatkan pengakuan dari bangsa Belanda. Sebab, selain sebagai lembaga pendidikan dan wadah organisasi perempuan, Kerajinan Amai Setia juga menjadi pusat kerajinan rumah tangga di Koto Gadang yang berhasil menggerakkan dan meningkatkan perputaran ekonomi perempuan dan masyarakat Koto Godong saja.
Di samping menjadi lembaga Pendidikan, para perempuan juga diajarkan berbagai keterampilan jahit-menjahit, sulam menyulam, gunting-menggungting dsb. Pelajaran keterampilan tersebut menjadikan Kerajinan Amai Setia sebagai wadah multi fungsi selain sebagai lembaga Pendidikan juga sebagai tempat organisasi perempuan dan sekaligus sebagai tempat mengembangkan usaha bagi perempuan untuk menjual hasil-hasil Kerajinan yang dihasilkan perempuan ketika itu.
Selain bergerak di pendidikan, Rohana Kudus juga bergerak dalam bidang jurnalistik untuk menyuarakan keyakinannya. Rohana Kudus tak berhenti mendidik di Sekolah Perempuan, namun ia juga mendidik lewat surat kabar Soenting Melajoe yang merupakan surat kabar kaum perempuan pertama yang terbit di Minangkabau (Sumatera Barat) Kota Padang pada tahun 1912 sampai 1921.
Surat Kabar Soenting Melajoe sendiri berisikan tulisan-tulisannya berkenaan dengan keperempuanan, penulisnya pun terdiri dari kaum perempuan yang berisikan pendobrakan dunia kelam yang diterima perempuan yang tengah diperankan oleh realita dalam masyarakat dalam ketidakadilan.
Di Sekolah Kerajinan Amai Setia, perempuan diajarkan untuk mampu membaca, menulis, berhitung, dan memiliki keterampilan. Sedangkan di surat kabar, Rohana Kudus mendorong perempuan untuk berani menyampaikan ide, pandangan, dan gagasannya akan nasib perempuan dan perjuangan perempuan.
Perjuangan Rohana Kudus menuaikan hasil satu per satu. Melalui surat kabar, ia berhasil membuka cakrawala pemikiran perempuan dalam dunia jurnalistik. Ia menyadarkan bahwa perempuan bukan melulu soal ‘kasur, dapur, sumur’ namun perempuan juga mampu untuk menunjukan eksistensinya.
Rohana Kuddus sangat serius untuk memberdayakan perempuan melalui pendidikan perempuan. Tidak jarang keseriusan Rohana Kuddus ini mendapatkan perlawanan dari berbagai pihak karena tidak menginginkan perempuan maju dan mandiri ketika itu.
Sehingga pada tanggal 6 Mei 1942, Rohana Kudus melakukan gerakan perlawanan terhadap dewan adat kampung bersama delapan orang perempuan Koto Gadang, dimana kebijakan dewan adat itu mempersempit ruang gerak perempuan.
Pada akhirnya, setiap pejuang harus kembali kepada Tuhan, begitu pun Rohana Kudus yang menutup catatannya sebagai pendidik, wartawati, dan pejuang perempuan pada tanggal 17 Agustus 1972 di Jakarta pada umur 87 Tahun.