Cinta merupakan sebuah ungkapan dan kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain, yaitu berupa pengorbanan diri, empati, perhatian memberi kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti patuh, dan mau melakukan apapun yang diinginkan objek tersebut.
Cinta mempunyai peranan penting dalam kehidupan umat manusia karena cinta sangat berpengaruh bagi siapa saja yang mencintai. Cinta sangat luar biasa dan dapat mengubah segalanya. Cinta tidak hanya berbicara tentang sesama manusia saja, melainkan cinta terhadap Sang Pencipta, cinta terhadap makhluk hidup lainnya, cinta terhadap benda-benda mati, dan tentunya cinta terhadap alam yang menjadi tempat tinggal kita.
Di kehidupan modern, cinta dan pemahaman terhadapnya semakin banyak dan berkembang. Cinta merupakan ungkapan perasaan manusia terhadap apa yang dirasakan di dalam hati dan jiwa di mana membuat pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan. Beberapa hewan pun, kita ketahui memiliki rasa cinta di kehidupannya terhadap manusia yang telah merawatnya dengan sepenuh hati. Rasa sayang yang diberikan oleh hewan tersebut dapat berupa, patuh ketika diperintah dan bahkan akan sedih dan menangis jika di tinggalkan oleh sang majikannya. Tapi bagaimana dengan orang-orang yang tidak memiliki rasa cinta dalam kehidupannya.
Cinta dalam Pandangan Para Filsuf
Pandangan matrealisme Thomas Hobbes membuatnya menempatkan tubuh manusia tak ubahnya sebagai mesin. Begitu juga, berbagai perasaan manusia dianggapnya tak lebih sebagai reaksi kimia semata. Begitu juga dengan cinta. Kita takkan menemui berbagai pemikiran idealis mengenai cinta dari Hobbes.
Sigmund Freud dan Alfred Kinsey mempunyai pandangan serupa dengan Hobbes, yakni cinta sebagai gejala biologis. Freud yang menjadi pioner psikologi modern membasiskan cinta pada hasrat libidinal (libido). Bagusnya, libido adalah insting hidup manusia, namun kurangnya, ini mengembalikan pengertian cinta sebagai kenikmatan semata, dan kenikmatan berbeda dari kesenangan: kenikmatan selalu menjadi kompensasi atas sesuatu. Berbagai bentuk kenikmatan, termasuk di dalamnya (ber)cinta, selalu bisa dijelaskan lewat tahapan-tahapan phallic atau psikoseksual.
Alfred Kinsey, seorang biolog Amerika Serikat, mendaulat cinta sebagai dorongan seksual. Bahkan baginya, kenikmatan puncak yang bisa diperoleh lewat pertemuan dua lawan jenis hanyalah melalui hubungan seksual. Dalam kamus Kinsey, kita akan sulit menemukan penghormatan dan perlindungan antarmanusia karena cinta, kalaupun ada, penghormatan dan perlindungan itu hanyalah selubung atau “topeng halus” untuk menyembunyikan hasrat liar seksual yang sesungguhnya.
Filsuf eksistensialis Jean-Paul Sartre memandang cinta dengan penuh prasangka. Ia menganggap cinta sebagai penindasan halus, pengobyekkan terhadap manusia, bahkan ia mendaulat seseorang yang jatuh cinta sesungguhnya “terjebak” pada dunia orang lain. Bagi Sartre, kecintaan seseorang terhadap orang lain menandai kegagalan dirinya mempertahankan diri sebagai subyek. Dengan mencintai orang lain, ia memiliki konsekuensi berhadapan dengan tuntutan-tuntutan dalam cinta. Dari sini, cinta pun rentan mentransformasi dirinya menjadi hasrat untuk memiliki. Jika telah demikian, maka salah satu pihak akan dikorbankan; menjadi benda, obyek; yang pasrah “ditindak”.
Jacques Derrida, filsuf yang kerap ditasbihkan sebagai salah seorang pemikir posmodernis, memiliki pandangan yang unik mengenai cinta. Baginya, orang yang jatuh cinta adalah “narsis”. Mengapa? Karena orang yang jatuh cinta selalu memerlukan perhatian, bahkan pemujaan dari orang yang dicintainya. Inilah mengapa, orang yang jatuh cinta sesungguhnya tidak sedang mencintai orang lain, tetapi dirinya sendiri. Begitu pula, jika kita menggunakan perspektif dekonstruksionis Derrida, kesempurnaan cinta menjadi hal yang langka. Berpijak pada kritiknya terhadap Marcel Mauss tentang konsep potlatch ‘pemberian cuma-cuma’, diungkap oleh Derrida bahwa “ucapan terima kasih” pun telah menggugurkan pemberian. Ini artinya, seseorang yang mencintai orang lain, dan berharap cintanya dibalas, sesungguhnya telah menggugurkan cintanya pada orang itu. Karena mencintai adalah mencintai, tak harap berbalas, sekalipun orang yang dicintai bertindak jahat dan menolaknya: mencintai tetaplah mencintai.
Bagi saya, hidup tanpa rasa cinta bagaikan pesawat yang terbang tinggi diatas awan tanpa pilot yang nantinya akan membawamu kepada kehancuran. Ketika manusia hidup tanpa rasa cinta, maka yang ada di pikirannya adalah kebencian dan kerusakan. Manusia yang tidak memiliki rasa cinta terhadap lingkungannya dapat menyebabkan terjadinya bencana alam yang dapat menghancurkan kehidupan yang ada di sekitarnya. Begitu juga manusia yang tidak memiliki rasa cinta terhadap Tuhan-nya. mereka hidup semau mereka saja, tidak mau adanya aturan dikehidupan mereka walaupun Sang Pencipta-lah yang membuat aturan itu. Sehingga dari perbuatannya bisa menimbulkan hal-hal buruk yang tidak diinginkan.
Ketika manusia menjalani kehidupan tanpa adanya rasa cinta yang dimiliki maka tentunya kehidupan yang dialami orang tersebut akan terpenuhi hal-hal negatif. Banyak peristiwa yang terjadi di dunia ini berupa kebencian dan kehancuran, disebabkan oleh tidak adanya rasa cinta atas perbuatan manusia itu sendiri. Tetapi, dengan adanya rasa cinta yang berlebihan terhadap sesuatu dapat menjadikan manusia itu sebagai salah satu individu yang fanatisme. Fanatisme ini sendiri juga merupakan sifat yang tidak baik yang dimiliki oleh setiap manusia.
Sifat fanatisme ini banyak dimiliki oleh setiap individu ataupun kelompok manusia di zaman sekarang, baik dari kaum muda maupun kaum tua. Bentuk fanatisme itu sendiri juga bermacam-macam, dari yang fanatisme terhadap penyanyi, pemain sepakbola, artis, tokoh agama, pejabat publik, dan lain sebagainya. Dari adanya sifat fanatisme itu sendiri, bisa menghadirkan yang namanya rasa benci jika sesosok idolanya itu di kritik oleh orang lain.
Oleh karena itu, bagi saya setiap manusia yang menjalani kehidupan di alam dunia ini, sejatinya harus memiliki rasa cinta agar menciptakan suasana yang tentram dan damai. Sehingga, hidup yang kita alami di alam dunia ini dapat bermanfaat bagi sesama manusia dan juga menjauhi yang namanya sifat fanatisme dalam kehidupannya, karena dapat berdampak buruk bagi manusia itu sendiri.