Apa kata Jalaluddin Ar-Rumi tentang ulama yang mengunjungi penguasa ? Dalam khazanah peradaban Islam, sepanjang zaman selalu ada relasi yang rumit antara ulama-penguasa. Jika kita memulai dengan Al-Qur’an sebagai kitab suci, Al-Qur’an menyebut bahwa orang yang mengatur kemasyarakatan kita adalah yang disebut dengan Uli al-Amri, yang secara harfiah dapat diartikan sebagai orang yang mengurusi perkara masyarakat. Sementara, dalam ayat yang lain, Allah menegaskan bahwa manusia itu diciptakan sebagai khalifah yang secara harfiah berarti pengganti untuk menjalankan tugas memakmurkan bumi.
Lalu, jika merefleksikannya dengan apa yang dikarang oleh para ulama tentang penguasa, beberapa memandang sinis kedekatan ulama dengan penguasa. Misalnya, al-Ghazali menyatakan beberapa kali bahwa di eranya, banyak bermunculan apa yang disebut ‘ulama as-sulthah, ulama raja. Karakteristik ulama seperti ini dalam catatan al-Ghazali seringkali “mengakal-akali” hukum agama untuk menyenangkan sang raja yang sebenarnya dalam kezaliman. Kalau sudah seperti ini, al-Ghazali mengistilahkan mereka dengan syarru ahwaal al-‘ulamaa’
Bagaimana dengan kata Ar-Rumi, sufi besar kelahiran kota Konya, Turki, tentang ulama yang mengunjungi penguasa ?
Ar-Rumi punya pandangannya tentang persoalan ini. Ia mengutip riwayat yang mengatakan bahwa,
شر العلماء من زار الأمراء، خير الأمراء من زار العلماء. نعم الأمير على باب الفقير، وبئس الفقير على باب الأمير
seburuk-buruknya ulama itu yang datang menemui raja-raja. Dan sebaik-baiknya raja adalah yang menemui ulama. Pemimpin yang paling baik adalah yang berada di pintu orang fakir, dan orang fakir terburuk adalah yang berada di pintu raja.
Riwayat ini, menurut Ar-Rumi dalam karyanya Fiihi Maa Fiihi, seringkali dipahami makna zahirnya saja oleh sebagian kalangan bahwa seorang ulama mutlak tidak boleh menemui, menziarahi, atau bahkan dekat dengan pemimpin agar tidak dikategorikan sebagai ulama yang buruk.
Menurut Rumi, ulama yang bertemu raja dikategorikan sebagai ulama yang buruk (syiraru al-‘ulamaa’) terjadi kalau ia menggantungkan kehidupannya kepada sang raja. Kehidupan dan kepastian hidupannya sangat bergantung kepada raja, dengan alasan takut kepadanya. Termasuk mencari ilmu dengan niat agar memiliki kedekatan dengan para raja atau menjadi pintar dengan keyakinan disebabkan karena bantuan para raja, ini baru diharamkan.
Rumi menggambarkan, kalau ulama yang seperti ini, mau dikunjungi atau mengunjungi raja, hakikatnya ia tidak pernah menjadi orang yang dikunjungi (al-mazuur), namun dia adalah orang yang mengunjungi (az-zaair) yang sesungguhnya.
Ini berbeda jika kondisinya sebaliknya. Orang yang mencari ilmu dan ditahbiskan sebagai seorang ulama, tidak ada urusan dekat dengan raja atau tidak, dan hanya karena Allah, ia hakikatnya adalah orang yang dikunjungi. Mengapa demikian ?
Ulama yang ikhlas karena Allah, ketika bertemu dan bahkan mengunjungi rumah seorang pemimpin, ia akan tetap berada diposisi sebagai orang yang dikunjungi, karena hakikatnya seorang pemimpinlah yang mengambil manfaat dari seorang ulama. Ulama yang seperti ini digambarkan layaknya matahari yang kedudukannya menyinari siapapun dan tidak membutuhkan sinar dari yang lain. Matahari, tambah Ar-Rumi, tugasnya hanya memberi, dan tidak menuntut balik. Ini selaras dengan satu ungkapan dalam bahasa Arab,
نحن تعلمنا أن نعطي، ما تعلمنا أن نأخذ
Kita itu belajar supaya bisa memberi, bukan malah meminta.