Asas Monogami dalam UU Perkawinan
Menurut UU Perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi, pada dasarnya hukum perkawinan Indonesia berasaskan monogami.
Asas monogami ini ditegaskan kembali dalam Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan beserta penjelasannya yang berbunyi:
Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (asas monogami).
Kendati demikian, UU Perkawinan memberikan pengecualian yang memungkinkan seorang suami untuk melakukan poligami.
Apa itu Poligami?
Apa itu poligami? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring, arti poligami adalah sistem perkawinan yang membolehkan seseorang mempunyai istri atau suami lebih dari satu orang.
Dasar Hukum Poligami
Dasar hukum poligami dapat kita jumpai dalam Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan yang mengatur secara jelas bahwa:
Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Khusus bagi yang beragama Islam, dasar hukum poligami diatur pula dalam Pasal 56 ayat (1) KHI:
Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
Merujuk pada dasar hukum poligami tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya hukum poligami di Indonesia dapat dilakukan, sepanjang poligami tersebut dilakukan sesuai dengan hukum poligami yang berlaku di Indonesia dan memenuhi sejumlah syarat-syarat poligami.
Syarat Poligami
Agar dapat melakukan poligami secara sah menurut hukum di Indonesia, maka poligami tersebut harus memenuhi syarat poligami sebagai berikut:
1. Suami wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya, dengan syarat:
a. Ada persetujuan dari istri/istri-istri, dengan catatan persetujuan ini tidak diperlukan jika:
- Istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian
- Tidak ada kabar dari istri selama minimal 2 tahun; atau
- Karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.
b. Adanya kepastian suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka;
c. Adanya jaminan suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak.
2. Pengadilan hanya memberikan izin poligami jika:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Izin tersebut diberikan pengadilan jika berpendapat adanya cukup alasan bagi pemohon (suami) untuk beristri lebih dari seorang.
Hukum Poligami Menurut Hukum Islam
Selanjutnya, mengenai syarat poligami di KUA atau syarat poligami bagi yang beragama Islam, secara garis besar, hukum poligami menurut hukum Islam memang tidak jauh berbeda dengan UU Perkawinan. Namun, dalam KHI terdapat syarat poligami lainnya yang harus diperhatikan, yaitu:
- Suami hanya boleh beristri terbatas sampai 4 istri pada waktu bersamaan.
- Suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya dan anak-anaknya. Jika tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.
- Suami harus memperoleh persetujuan istri dan adanya kepastian suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. Persetujuan ini dapat diberikan secara tertulis atau lisan. Harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. Jika nekat dilakukan tanpa izin dari Pengadilan Agama, perkawinan itu tidak mempunyai kekuatan hukum. Jika istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin diajukan atas dasar alasan yang sah menurut hukum, Pengadilan Agama dapat menetapkan pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama. Atas penetapan ini, istri/suami dapat mengajukan banding atau kasasi. Alasan yang sah yang dimaksud adalah jika istri tidak dapat menjalankan kewajibannya, mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau tidak dapat melahirkan keturunan.
Sehingga, pada dasarnya jika istri pertama tidak menyetujui suami untuk menikah lagi, maka suami tidak dapat melakukan poligami, mengingat persetujuan istri merupakan syarat yang wajib dipenuhi jika suami hendak beristri lebih dari 1 orang. Namun, dalam hal permohonan izin poligami diajukan ke Pengadilan Agama berdasarkan alasan yang sah menurut hukum, Pengadilan Agama dapat memberi izin setelah memeriksa dan mendengar keterangan dari istri yang bersangkutan.
Sebagai informasi tambahan, mengenai syarat mampu berlaku adil, pada dasarnya Al Qur’an dalam Surah An Nisa’ ayat 129 yang merupakan salah satu sumber hukum Islam telah menegaskan bahwa suami tidak akan dapat berlaku adil, sebagai berikut:
Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.
Terhadap ketentuan ini, Quraish Shihab dalam buku Kaidah Tafsir (hal. 88) menjelaskan bahwa penggunaan huruf nafy dalam ayat tersebut mengandung makna tidak akan sama sekali sampai kapan pun.
Senada, Rahmi dalam Poligami: Penafsiran Surat An Nisa’ Ayat 3 menjelaskan bahwa Al-Qur’an memang membolehkan poligami jika suami mampu mewujudkan keadilan di antara para istri, yaitu keadilan material. Namun, keadilan material di antara istri merupakan syarat yang sangat sulit dilakukan karena lahirnya tindakan manusia tidak terlepas dari kondisi hati/perasaannya. Padahal, pada saat yang bersamaan, hati/perasaannya memiliki kecenderungan untuk tidak adil.