Banten, hipotesa.id – Persoalan tentang keperempuanan seolah tidak akan pernah selesai, dimana perempuan belum mendapatkan keadilannya, dalam menjalankan kehidupan sosial, baik berbangsa dan bernegara. Perempuan selalu menjadi korban dari sistem sosial yang tidak ramah, bahkan tidak ada tempat aman baginya. Baik di rumah, lingkungan kerja yang masih ada perundungan terhadap perempuan. Bahkan di kampus sebagai institusi lembaga yang didalamnya tersusun rapi struktur, baik norma dan intektual, tidak menjamin keamanan terhadap perempuan.
Gerakan-gerakan Feminisme tumbuh dan berkembang dikalangan masyarakat, baik dalam lembaga perguruan tinggi sebagai laboratorium pengetahuan, sekalipun dalam institusi yang memiliki legalisasi dari kampus ataupun yang tak memiliki sama sekali, namun kajian-kajian keperempuanan terus berkembang yang berbanding lurus dengan permasalahannya.
Bagaimana Lahirnya Feminisme
Kata Feminisme mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita semua, namun dari mana asalnya Feminisme ini dan apa yang melatarbelakangi keberadaanya. Bermula dari paham, kajian, atau gerakan sosial yang bertujuan mengangkat strata perempuan di masyarakat atau lingkungan patriarki.
Lahirnya feminisme dilatarbelakangi oleh kesadaran moral kaum perempuan yang tersubordinasi oleh laki-laki. Munculnya gerakan feminisme ini ada beberapa Gelombang, namun sejarah mengatakan bahwa gerakan ini hadir di negara barat.
Gerakan feminisme gelombang pertama dimulai pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20 di negara-negara Barat. Pada 1792, tokoh feminis perempuan dari Inggris bernama Mary Wollsstonecraft menulis karya tulis berjudul The Vindication of the Rights of Woman.
Mery Wollsstonecraft menjadi tokoh pertama yang menjadi lahirnya gerakan feminisme, namun sebenarnya tokoh perempuan Islam lebih dulu dalam beberapa dekade silam, lantas siapa tokoh perempuan yang luar biasa, dari Islam itu, ia memliki julukan kesayangan dari ayahnya yaitu Haura Al-Insiyaah.
Haura Al-Insiyyah Pilihan Cerdas Teladan Para Feminisme
Siapa sosok perempuan sempurna itu, ialah Haura Al-Insiyyah. Sebutan yang diberikan dari ayahnya. Artinya jelmaan bidadari di bumi. Sedangkan nama aslinya adalah Siti Fatimah az-Zahro . Putri ke sayagannya Nabi Muhammad SAW. Dimana pada saat itu, kondisi sosial bangsa Arab terhadap perempuan sungguh sangat diskriminatif.
Dalam sejarah Islam, masyarakat Arab Jahiliah memandang perempuan sebagai aib dan kehinaan, bahkan di era Arab jahiliah memiliki tradisi mengubur bayi perempuan hidup-hidup. Karena jika mereka membesarkan perempuan hanya akan menambah beban, kemudian perempuan hanya akan menajdi kelas kedua dalam kehidupan, mereka melihat perempuan hanya untuk melengkapi, melayani dan memuaskan laki-laki saja.
Fatimah lahir dan di era kondisi sosial yang sangat negatif terhadap perempuan, nabi membesarkan putrinya dengan teladan yang luar biasa. Berbeda dari tradisi bangsa Arab jahiliah yang tidak memuliakan perempuan, namun beliau dengan pemikirannya, melakukan pelajaran yang luar biasa, bisa memberikan sesuatu yang berbeda dan mampu mengangkat derajat perempuan.
Putri Nabi, Fatimah az-Zahro tumbuh dan berkembang menjadi teladan seperti ayahnya. Ia juga banyak memberikan pelajaran tentang keperempuanan, bahwa perempuan harus cantik diluar dan dalam, bagaimana Ia memberikan pemahaman bahwa perempuan, harus cerdas dan terpelajar, berani dan tangguh, suci dan terhormat yang Ia gambarkan dari segala tindakanya yang tersurat maupun tersirat.
Fatimah bukan hanya mampu mengurus keuangan keluarga, namun ia pandai dalam mengelola keuangan dan Ilmu memenejemen. Karena Ia mampu mengelola sebuah ladang yang besar dan subur, bernama kebun fandak yang di wariskan ayahnya. Hasilnya di peruntukan kepentingan umat Islam di eranya.
Maka pilihan yang cerdas, bagi para perempuan feminisme, untuk bagaimana bisa meneladani Fatimah az-Zahro. Karena, Ia sosok perempuan yang sempurna, dan para laki-laki harus tahu tentang teladan Fatimah. Sebagaimana bisa memperlakukan keadilan, terhadap para perempuan dari masa sekarang dan masa depan.