Opini, hipotesa.id – Indonesia termasuk negara terbesar yang menggunakan sistem pemerintahan demokrasi. Sebentar lagi kita masuk kedalam pemilu serentak di tahun 2024, dimana pergantian para pemangku pemerintahan Indonesia, baik itu Presiden (eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif).
Pesta Demokrasi terus bergulir setiap lima tahun sekali yang setiap prosesnya terus-menerus mengalami kecacatan. Banyak keraguan tentang kualitas demokrasi di negara ini, baik dalam penyelenggara sampai dengan para peserta pemilu yang ikut berkontestasi, karena hanya memikirkan berkuasa dan menang, bukan untuk memperbaiki dan membangun negara Indonesia.
Namun optimisme tentang memperbaiki demokrasi tak pernah surut dari tahun ke tahun, entah apa yang melatarbelakangi hal itu. Apa mungkin negara yang sudah merdeka 77 tahun lamanya ini belum menemukan sistem pemerintahan yang sesuai selain demokrasi ataukah memang demokrasi yang paling baik dan sesuai dengan pancasila, entahlah.
Menuju proses Pemilu 2024 sudah di mulai dari pembentukan penyelenggaranya, baik Itu KPU dan Bawaslu dari pusat sampai ke daerah-daerah seluruh negeri, sampai pada tataran Kecamatan dan Desa. Hal itu menyuguhkan segala polemik yang sangat nampak dimata masyarakat dari konsep rekruitmen yang terus-terusan bermasalah.
Konvensi dalam Rekruitmen Penyelenggara Pemilu
Sekarang penyelenggara pemilu sudah terbentuk di daerah-daerah sampai tataran kecamatan dan Desa, hasil dari rekruitmen KPU dan Bawaslu Kabupaten dengan proses prosedural yang terlihat seolah-olah tidak akan terjadi konsep Nepotisme, dari pendaftaran, verifikasi berkas, Tes tertulis dengan CAT dan Wawancara.
Rangkaian prosesnya terlihat sangat baik untuk menciptakan kualitas demokrasi pada pemilu 2024, namun sangat disayangkan, hal itu terjadi hanya sebagai pertunjukan bagi masyarakat saja, agar terkesan demokratis. karena konsep rekomendasi dari yang punya power atas itu, semua calon penyelengara bisa lolos, nepotisme terjadi di tataran bawah membuktikan bahwa ada konvensi dari aktor politisi atau yang berkepentingan dalam proses kepemiluan, karena harus orang terdekatnya saja kalau bukan nanti kepentingan nya tidak akan ada yang mengawal.
Bahkan sekarang masih berlangsung gugatan kepada DKPP terhadap para penyelenggara yang bermasalah khususnya yang rangkap jabatan, banyak para penyelenggara merangkap jabatan, karena sudah jadi syarat mutlak bahwa para penyelenggara pemilu harus bekerja penuh waktu. namun kenyataan banyak para penyelenggara yang double Jobs di tingkat Desa/Kelurahan dan Kecamatan.
Konvensi elit politik dalam menyusun penyelenggara pemilu dari tataran desa sampai Kabupaten atau mungkin provinsi atau pusat, pada akhirnya kredibilitas penyelenggara di tentukan bukan karena individu yang layak tapi rekomendasi yang kuat, bukankah hal ini menandakan adanya nepotisme yang sangat kuat dalam pembentukan penyelenggara pemilu.
Kerok Cikal Bakal Nepotisme
Jika kita telaah bersama apa sih yang melatarbelakangi Nepotisme itu terjadi, apakah untuk merawat kepentingannya tetap terjaga dengan baik, apa mungkin memang dalam membangun dan bekerja butuh orang yang se frekuensi sehingga nepotisme menjadi budaya yang akut untuk di hilangkan dalam negeri ini.
Menggunakan istilah “Kerok” (Ga Enakan) disini, dirasa pas untuk bisa me-Analogikan tentang cikal bakal terjadinya nepotisme di negeri ini, karena nepotisme seolah sudah mendarah daging dengan budaya negara Indonesia yang terkenal dengan negara ramah, Sksd (sok kenal sok dekat) dan santun orang-orangnya, ya seperti ketika ketemu orang baru dengan mengangguk dan tersenyum berbeda dengan negara-negara eropa.
jika kita telisik lebih dalam sebenarnya kerok adalah yang melatarbelakangi munculnya nepotisme, semisal kita jadi pejabat mana mungkin kita mencari orang lain, tentunya akan mengangkat orang terdekat dulu karena ‘kerok”. Baik itu orang terdekatnya seperti soudara, satu kelompok organisasi atau partai, hal itu menjadi sesuatu yang lumrah di negara ini. Jika kita melihat dampak dari nepotisme adalah ketidak profesionalitasan apalagi tentang persoalan jabatan kenegaraan, termasuk budaya rekom-rekom ini yang terus-terusan terjadi dan mengakibatkan kerusakaan dalam harapan demokrasi yang baik.
karena selalu ada istilah kerok jika kita punya orang terdekat yang tidak memilik kompetisi di bidangnya namun ia adalah orang terdekat kita, hal yang pasti kita akan mengangkat atau merekomendasikan ia untuk bekerja dalam bidang yang sebenarnya bukan kompetensi nya.
Jika nepotisme terus membudaya dalam lingkaran pemerintahan di negeri ini, hal yang wajar jika pembangunan lamban, karena mereka yang memiliki jabatan hanya bisa berkuasa tanpa bisa bekerja, maka hal pantas pemerintahan yang di hasilkan dengan proses demokrasi tak pernah baik, sekalipun proses demokrasi dijalankan dengan semestinya.