Serang, hipotesa.id – Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (FORDISKA LIBAS) membahas implikasi dan dampak dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai penggunaan lembaga pendidikan dalam kampanye pemilu. Putusan MK tersebut menarik perhatian karena memengaruhi praktik kampanye dan partisipasi politik di lembaga pendidikan.
Ketua FORDISKA LIBAS, Ocit Abdurrosyid Siddiq menyampaikan pernyataan sikap dan beberapa point penting kepada hipotesa.id pada Kamis, 24 Agustus 2023.
Diketahui dalam Pasal 280 Ayat 1 Huruf H Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Pemilu disebutkan bahwa “pelaksana, peserta, dan tim kampanye Pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”.
Artinya, setiap pelaksana, peserta, dan tim kampanye Pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan untuk kepentingan kampanye tanpa ada pengecualian.
Sanksi atau hukuman atas pelanggaran ketentuan itu lumayan berat. Bisa dipidana selama paling lama 2 tahun dan denda paling banyak 24.000.000 rupiah.
Hal itu sebagaimana tercantum dalam Pasal 521 pada UU yang sama. Pada bagian penjelasan bagi Pasal 280 Ayat 1 Huruf H itu, menyebutkan bahwa “fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta Pemilu hadir tanpa atribut, kampanye Pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”.
Karena dianggap ada kontradiksi antara ketentuan pada Pasal 280 Ayat 1 Huruf H dengan penjelasannya -contradictio in terminis- ketentuan ini kemudian dimohonkan untuk dijudicial review kepada Mahkamah Konstitusi atau MK. Alasan gugatan adalah adanya kontradiksi tadi. Pada Pasal 280 Ayat 1 Huruf H sudah dengan jelas dan tegas disebutkan bahwa ketiga tempat itu terlarang untuk kegiatan kampanye Pemilu tanpa catatan dan pengecualian.
Sementara dalam penjelasan atas pasal itu malah membuka celah dengan pengecualian. Ketentuan pada UU Pemilu yang telah menjadi dasar penyelenggaraan Pemilu pada tahun 2019 -dan juga akan menjadi dasar bagi penyelenggaraan Pemilu tahu 2024 ini- sudah diimplementasikan. Khususnya pada bagian larangan tempat kampanye Pemilu. Ada banyak tindakan yang dilakukan oleh Bawaslu terhadap peserta Pemilu yang melanggar ketentuan tersebut.
Banyak para calon anggota legislatif yang berurusan dengan penyelenggara Pemilu tersebab melakukan pelanggaran dengan melakukan kampanye di lokasi terlarang itu. Atas gugatan masyarakat tersebut, pada Rabu, 2 Agustus 2023, MK menetapkan bahwa penjelasan Pasal 280 Ayat 1 Huruf H bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap.
Hal yang sama ditetapkan oleh MK atas Pasal 280 Ayat 1 Huruf H, dengan catatan “sepanjang tidak dimaknai mengecualikan fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye Pemilu”. Sehingga pasal itu berbunyi “menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye Pemilu”.
Pernyataan sikap FORDISKA LIBAS diantaranya:
- Mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengeluarkan peraturan petunjuk teknis yang jelas dan rinci terkait ketentuan penggunaan lembaga pendidikan dan fasilitas pemerintah dalam kampanye pemilu. Hal ini bertujuan agar ketentuan baru dapat diaplikasikan dengan jelas dan tidak menimbulkan tafsiran ganda.
- Meminta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk meningkatkan langkah pencegahan terhadap pelanggaran di lokasi pendidikan dan fasilitas pemerintah. Selain itu, diperlukan pengawasan yang lebih intensif pasca putusan MK serta penindakan yang adil dan tegas terhadap pelanggaran yang terjadi.
- Mengajak Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama, dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk segera berkoordinasi guna mencapai kesamaan persepsi terkait ketentuan baru ini. Langkah ini diambil untuk mengantisipasi potensi permasalahan yang dapat timbul karena perubahan ketentuan.
- Mengimbau kepada aparatur sipil negara (ASN) dan pengelola lembaga pendidikan untuk bersikap selektif dan adil dalam menghadiri serta menyelenggarakan kegiatan politik praktis di lembaga pendidikan. Hal ini penting untuk menjaga integritas dan netralitas lembaga pendidikan.
- Mendorong siswa dan mahasiswa untuk meningkatkan literasi kepemiluan guna membuat keputusan yang lebih berdasarkan informasi yang mendalam. Dengan demikian, mereka tidak hanya bergantung pada opini politisi yang berkunjung ke lembaga pendidikan.
- Mengajak semua elemen masyarakat untuk menjaga dan meresapi nilai-nilai pendidikan politik di lembaga pendidikan. Lembaga ini seharusnya dijaga agar tidak terlibat dalam politik praktis yang berpotensi memecah belah dan mengganggu persatuan.