Opini, hipotesa.id – Tradisi mudik memiliki akar yang dalam, sudah ada sejak zaman kerajaan di Indonesia. Kata “mudik” berasal dari Bahasa Jawa, yaitu singkatan dari “mulih dilik”, yang berarti pulang ke kampung halaman sebentar.
Asal-usul kata “mudik” juga berasal dari Bahasa Melayu yang artinya “udik”, yang mengandung arti hulu atau ujung. Dahulu tradisi masyarakat Melayu yang tinggal di daerah hulu sungai sering melakukan perjalanan ke daerah hilir sungai menggunakan perahu atau biduk untuk menemui sanak saudara yang jauh.
Fenomenan ini telah ada sejak sebelum zaman kerajaan Majapahit dan Mataram Islam. Namun istilah mudik baru popouler pada tahun 1970-an, ketika Jakarta menjadi magnet bagi penduduk desa yang berbondong-bondong merantau mencari pekerjaan.
Tradisi mudik merupakan momentum yang ditunggu-tunggu oleh para perantau agar bisa berkumpul bersama sanak keluarga di kampung halaman, aktivitas mudik menjadi bagian penting dalam perayaan Idul Fitri (lebaran) di Indonesia.
Pada lebaran 2024 ini, diperkirakan jumlah pemudik mencapai 193, 6 juta orang, atau naik 34 persen dari tahun sebelumnya. Hal ini juga bahwa 71,7 persen dari jumlah penduduk Indonesia melakukan pergerakan dari satu daerah ke daerah lain, dari satu kota ke kota lain yang mana tujuannya adalah pulang ke kampung halaman.
Selain itu mudik juga diprediksi membawa pengaruh perputaran uang. Bayangkan jika setiap kepala keluarga atau perorangan membawa uang rata-rata Rp. 3.250.000, perputaran uang diperkirakan mencapai RP. 157,3 triliun.
Di Indonesia hari raya idul fitri dimaknai sebagai “hari kemenangan”. Yang biasa disebut “idul fitrah”, yang diartikan “kembali ke Suci”. Yaitu karena manusia bersih dari segala dosanya karena telah melaksanakan puasa Ramadhan sebulan penuh.
Kemenangan yang kita capai adalah diartikan bahwa kita mampu menahan diri selama sebulan penuh. Mengendalikan diri agar tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Maknanya kita merayakan hari raya kemenangan karena kita berhasil mengalahkan diri sendiri selama sebulan.
Dapat dikatakan bahwa mudik lebaran bagi masyarakat Indonesia merupakan suatu ibadah atau ritual tahunan yang tidak boleh dilanggar dan hal ini sama sekali tidak mengenal status sosial-ekonomi maupun derajat kehidupan seperti kaya atau miskin, mampu atau kurang mampu, sehingga ritual tahunan ini selalu marak dan menjadi prioritas utama pada saat mengahadapi lebaran atau hari raya Idul Fitri .
Secara budaya kegiatan mudik lebaran identik dengan kemenangan yang diperoleh umat manusia terutama yang beragama Islam setelah satu bulan penuh menunaikan kewajiban agama yaitu menunaikan ibadah puasa. Sehingga salah satu wujud kemenangan tersebut harus dan akan diperingati bersama keluarga di daerah asal atau kampung halaman. Menurut teori migrasi, perpindahan spontan dan bersifat sementara ini dapat dikategorikan sebagai “temporarily migration” karena setiap migran hanya berniat untuk berpergian dari tempat mereka ke suatu tempat lain dalam waktu yang relatif singkat tanpa niatan untuk menetap.
Bahkan kata Jalaluddin Rumi, sabar dan teguhlah dalam puasa, sebab Tuhan yang Maha Bijakasana dan Maha Tabah itu, akan memberikan hadiahNya kepada orang-orang yang tabah menanti.
Maka inilah yang menjadikan kebahagiaan bagi para manusia perantau yang mana hasil dari tabah menanti adalah juga bisa berkumpul dengan teman, kerabat, serta keluarga dimomentum hari raya Idul fitri (kemenangan).